"Kami berjuang untuk menjaga tradisi ini untuk tetap hidup dengan 963 mukhtar dan penabuh genderang kami di Istanbul," lanjutnya.
Oleh karena itu, dalam mewarisi para penabuh genderang sahur yang sudah menjadi tradisi yang melegenda ini, pertama-tama ditentukan terlebih dahulu penabuh Ramadan dan mencari pakaian yang cocok untuk mereka.
Aykut menyatakan bahwa beberapa penabuh yang ditugaskan di setiap lingkungan telah bekerja di daerah yang sama selama bertahun-tahun. Konon, tradisi ini dipertahankan dari generasi ke generasi dan diwariskan dari ayah ke anak laki-laki sejak Kekaisaran Ottoman masih berkuasa.
Baca Juga: Osman Merintis Kadipaten Kecil Menjadi Kekaisaran Ottoman yang Megah
Baca Juga: Kesaksian Keindahan Ramadan Zaman Kekaisaran Ottoman di Turki
Baca Juga: Vankulu Lügati, Buku Pertama yang Diterbitkan di Kekaisaran Ottoman
Baca Juga: Simpan Banyak Misteri, Kuburan Ottoman Tetap Bertahan Ditempa Waktu
Para pemain drum menjalani pelatihan sebelum memulai tugas mereka. Peserta pelatihan yang lulus penilaian diberikan kartu "pemain drum Ramadan." Setelahnya, ia siap untuk menjalankan profesi itu selama satu bulan penuh dengan tradisi yang unik ini.
Menabuh genderang bukanlah pekerjaan sepele dan tidak sembarang orang bisa melakukannya. Segenap mukhtar dan warga selaku pewaris tradisi, harus memperhatikan akreditasi dan kecintaan para penabuh drum dengan profesinya.
Melalui kecintaannya, Aykut meyakini bahwa para mukhtar dan penabuh genderang akan bisa mewarisi tradisi unik Ramadan ini agar tetap terjaga dan dilestarikan kepada generasi mendatang.
Meskipun Indonesia juga memiliki budaya menabuh genderang atau tetabuhan lain dengan peralatan seadanya, belum menjadi perhatian khusus dari pemerintah. Sehingga, tradisi ini hanya berdasar pada kesadaran masyarakat akan kecintaannya terhadap budaya Ramadan.
Source | : | Daily Sabah |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR