Nationalgeographic.co.id—Ramai sorak-sorai warga, dari anak kecil hingga orang dewasa, berusaha membangunkan sahur. Mulai dari nyanyian hingga tabuhan drum, mewarnai momentum selama sahur bulan Ramadan di Indonesia.
Nampaknya, tradisi ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia, Turki juga punya tradisi bangunkan sahur yang serupa. Bahkan, sejak Kekaisaran Ottoman berkuasa, tradisi ini sudah dijalankan sejak lama.
"Tradisi menabuh genderang selama berabad-abad untuk membangunkan orang sebelum waktu atau sesaat akan sahur di bulan Ramadhan telah menjadi tradisi di Turki," tulis responden Daily Sabah.
Ia menulisnya dalam sebuah artikel berjudul 3,400 Ramadan drummers in Istanbul to maintain ancient sahur tradition yang diterbitkan pada 21 Maret 2023.
Bahkan, tabuhan drum sepanjang jalan di Istanbul dibuat ramai riuh. "Setidaknya 3.400 penabuh genderang dari berbagai kelompok usia akan turun ke jalan di Istanbul selama 29 hari di bulan Ramadan," sebutnya.
Tradisi ini sudah mengakar berabad-abad lamanya, dan dipopulerkan sejak zaman Kekaisaran Ottoman berkuasa di Turki. Tak mengherankan jika para penabuhnya akan mengenakan kostum yang berasal dari zaman Kekaisaran Ottoman.
Sejak runtuhnya benteng Konstantinopel dan diubahnya menjadi kota dengan mayoritas muslim Istanbul, budaya Ramadan dimulai. Sepanjang berbuka hingga sahur, Ramadan adalah bulan terindah di Istanbul.
"Para penabuh genderang yang tersebar di jalan-jalan di 963 lingkungan kota terpadat di Türki, siap untuk kembali bertugas dan membangunkan sahur umat Islam dengan menabuh genderang mereka," tambahnya.
Selain menabuh genderang dan menciptakan keramaian di sepanjang jalan, mereka juga memiliki tradisi untuk membuat dan membacakan puisi hingga menjelang waktu azan subuh berkumandang.
Mereka menyebut grup penabuh tradisional berkostum Ottoman itu dengan sebutan Mukhtar Group. Selami Aykut, yang mengepalai federasi mukhtar di Istanbul, menyatakan bahwa para penabuh telah menyelesaikan semua persiapan mereka untuk Ramadhan di Istanbul.
Ia menegaskan kepada reporter Daily Sabah bahwa "tradisi tim penggugah sahur yang berasal dari era Kekaisaran Ottoman ini adalah salah satu bagian dari keindahan bulan Ramadan."
"Kami berjuang untuk menjaga tradisi ini untuk tetap hidup dengan 963 mukhtar dan penabuh genderang kami di Istanbul," lanjutnya.
Oleh karena itu, dalam mewarisi para penabuh genderang sahur yang sudah menjadi tradisi yang melegenda ini, pertama-tama ditentukan terlebih dahulu penabuh Ramadan dan mencari pakaian yang cocok untuk mereka.
Aykut menyatakan bahwa beberapa penabuh yang ditugaskan di setiap lingkungan telah bekerja di daerah yang sama selama bertahun-tahun. Konon, tradisi ini dipertahankan dari generasi ke generasi dan diwariskan dari ayah ke anak laki-laki sejak Kekaisaran Ottoman masih berkuasa.
Baca Juga: Osman Merintis Kadipaten Kecil Menjadi Kekaisaran Ottoman yang Megah
Baca Juga: Kesaksian Keindahan Ramadan Zaman Kekaisaran Ottoman di Turki
Baca Juga: Vankulu Lügati, Buku Pertama yang Diterbitkan di Kekaisaran Ottoman
Baca Juga: Simpan Banyak Misteri, Kuburan Ottoman Tetap Bertahan Ditempa Waktu
Para pemain drum menjalani pelatihan sebelum memulai tugas mereka. Peserta pelatihan yang lulus penilaian diberikan kartu "pemain drum Ramadan." Setelahnya, ia siap untuk menjalankan profesi itu selama satu bulan penuh dengan tradisi yang unik ini.
Menabuh genderang bukanlah pekerjaan sepele dan tidak sembarang orang bisa melakukannya. Segenap mukhtar dan warga selaku pewaris tradisi, harus memperhatikan akreditasi dan kecintaan para penabuh drum dengan profesinya.
Melalui kecintaannya, Aykut meyakini bahwa para mukhtar dan penabuh genderang akan bisa mewarisi tradisi unik Ramadan ini agar tetap terjaga dan dilestarikan kepada generasi mendatang.
Meskipun Indonesia juga memiliki budaya menabuh genderang atau tetabuhan lain dengan peralatan seadanya, belum menjadi perhatian khusus dari pemerintah. Sehingga, tradisi ini hanya berdasar pada kesadaran masyarakat akan kecintaannya terhadap budaya Ramadan.
Source | : | Daily Sabah |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR