Usahanya mulai meningkat pesat 20 tahun kemudian, yakni pada 2014. Ia pun semakin dikenal sebagai seniman tenun ikat pewarna alam.
Banyak undangan ditujukan kepadanya, baik sebagai pembicara atau ikut pameran dan berdagang ke luar daerah, bahkan ke luar negeri. Puncaknya pada 2017, ketika itu ia menghadiri dan terlibat dalam beragam kegiatan, dari pameran sampai membuat buku.
Saat pandemi, selama dua tahun geliat tenun ikat menurun. Untungnya ada mesia sosial, sehingga ia masih bisa menjual tenun ikat.
“Sosial media punya peran besar meningkatkan penjualan saat pandemi,” tegasnya.
Kini kondisi berangsur normal kembali, dan tenun ikat kembali menggeliat. Sehari-hari ia memiliki kesibukan untuk membuat tenun ikat dan melayani tamu yang datang ke Sanggar Tenun Ikat Praikundu miliknya.
Mengenal pewarna bahan alam tenun ikat di Sumba Timur
Tenun ikat di Sumba Timur secara tradisi menggunakan dua warna utama, yaitu merah dan biru. Merah dalam bahasa lokalnya disebut kombu, sedangkan biru bahasa lokalnya kawuru dan Keduanya terbuat dari tumbuhan yang banyak terdapat di sana.
Kombu adalah bahasa lokal dari pohon mengkudu (Morinda citrifolia). Warna merah didapat dari akar pohon mengkudu. Para seniman tenun ikat Sumba mengenal berbagai jenis pohon mengkudu yang tumbuh di sana.
Ada kombu ahu, biasanya tumbuh di batu-batu di atas bukit yang gersang. Selain itu ada dua Jenis lagi; kombu anahida dan kombu rahang. Dua Jenis inilah yang digunakan untuk pewarna alam. Cirinya adalah berbuah hijau, berukuran kecil dan tidak mengkilat. Kulit batangnya tidak terlalu kasar.
Yang diambil adalah akarnya saja. Setiap pohon dipanen akarnya dua tahun sekali. Untuk itu para penggiat tenun ikat selalu menanam banyak pohon kombu untuk persediaan bahan baku pewarna.
Kornelis memiliki kebun kombu khusus untuk persediaan bahan pewarna. Ada ratusan pohon mengkudu yang ia tanam. Dengan menanam pohon ia telah membantu mengurangi emisi karbon dan melestarikan tumbuhan lokal.
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR