Banyak orang yang mendapatkan manfaat dari tenun ikat pewarna alam ini. Bahkan, termasuk orang yang tidak mempunyai tenun tetapi mempunyai lahan untuk ditanami tumbuhan untuk pewarna alam yang dijual kepada pembuat tenun.
Ada juga orang yang bukan pembuat tenun ikat namun ia dibayar jasanya untuk menenun. Hitungan bayarannya berdasarkan jumlah kain yang ditenunnya.
Manfaat ekonomi juga sampai pada warga-warga di pegunungan menyediakan tumbuhan loba, tanaman endemik NTT sebagai penguat warna merah atau kombu. Bahkan, manfaat ekonomi itu sampai pada orang yang menyediakan kapur untuk bahan campuran indigo. Semua mendapat manfaat dari bahan pewarna alami.
Baca Juga: Sarung Sebagai Simbol Kekayaan Budaya Asia dari Masa ke Masa
Baca Juga: Ney Dinan: Jangan Sebut Tenun Manggarai Sebagai Tenun Labuan Bajo!
Baca Juga: Pameran Kain Ulos, Salah Satu Produk Peradaban Tertua di Asia
Baca Juga: Kisah Tenun dan Komunitas Lakoat Kujawas dari Desa Taiftob NTT
Karena prosesnya yang panjang dan rumit—serta melibatkan banyak sumber daya manusia dan jam kerja—tak heran kain tenun ikat Sumba pewarna alami yang asli dinilai sampai jutaan rupiah. Anda harus merogoh kantong lebih dalam jika ingin membelinya, dan itu harga yang pantas!
Ikut Memberi Peluang Bumi untuk Lestari
Para penggiat tenun ikat tetap konsisten menggunakan pewarna alam karna itu adalah ilmu turun temurun dari nenek moyang mereka. Selain itu bahan baku cukup tersedia dan tidak terlalu rumit dibudidayakan. Banyak tumbuhan mengkudu dan indigo yang ditanam warga.
Faktor lain yang turut membuat para penggiat tetap setia pada pewarna alam adalah: banyak pelanggan dan pecinta wastra yang peduli ramah lingkungandan memilih pewarna alam. Semakin hari semakin banyak pelanggan yang mencari tenun ikat dengan pewarna alam.
Kornelis ingin makin banyak para penggiat tenun ikat yang menggunakan pewarna alam. Apabila tidak digunakan lagi, maka pewarna alam ini akan punah. Padahal semua ilmu dan istilah pewarnaan dalam tradisi tenun ikat berasal dari pewarnaan alam. Artinya warisan nenek moyang yang sangat berharga bagi pelestarian lingkungan ini juga ikut hilang!
Ia khawatir semua akan punah sehingga berharap makin banyak makin banyak warga yang membudidayakan tanaman pewarna.
Selain tradisi turun-temurun dari nenek moyang dan alasan ekonomi, adakah hal lain yang membuatnya bertahan menggunakan pewarna alam?
Kornelis tegas ia menjawab, “Ketika kita menanam kita sudah ikut merawat bumi!”
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR