Untuk menghasilkan warna merah, akar mengkudu dicacah lalu kemudian ditumbuk sampai halus. Ada satu bahan dari tumbuhan lagi fungsinya untuk memperkuat warna merah, yaitu dalam bahasa lokalnya disebut loba (Symplocos) tanaman endemik NTT.
Daun, kulit kayu atau dan akarnya dikeringkan. Lalu, materi itu ditumbuk sampai menjadi bubuk untuk dicampurkan ke akar mengkudu yang sudah dihaluskan .
“Kalau tanpa loba kita tak bisa menghasilkan warna merah,” terang Kornelis.
Semua campuran itu kemudian dicampur air yang kemudian menghasilkan cairan pewarna merah.
Untuk warna biru atau kawuru, Kornelis menggunakan tumbuhan tarum, nila atau Indigofera tinctoria atau dalam bahasa lokalnya adalah wuara. Prosesnya lebih panjang dibanding untuk pewarna merah.
Biasanya kaum perempuan yang memanen daun indigo. Setelah daun cukup terkumpul, lalu direndam air dalam sebuah wadah.
“Daun direndam untuk difermentasi selama 18 sampai 24 jam”, jelas Kornelis.
Semuanya tergantung cuaca, jika musim hujan dan udara dingin akan lebih lambat. Kalau musim kemarau dan udara panas akan semakin cepat.
Setelah semalaman direndam kemudian daunnya diperas dan ampasnya pun dikumpulkan untuk dijadikan kompos untuk menyuburkan kebun.
Air rendaman daun indigo akan berwarna hijau, lalu dicampurkan dengan kapur bubuk. Kemudian diaduk untuk oksidasi, nama prosesnya dikebur.
Cara oksidasinya seperti membuat teh tarik, air rendaman di dalam ember diciduk menggunakan gayung lalu dimasukan lagi ke dalam ember. Pekerjaan ini terus dilakukan berulang-ulang sehingga menghasilkan gelumbung-gelumbung udara. Cara lebih modern, tidak menggunakan ciduk lagi tapi pompa air.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR