Nationalgeographic.co.id—Kota Demak menyimpan jejak histori yang panjang tentang permulaan persebaran agama Islam di Indonesia. Bahkan, Masjid Agung Demak dianggap menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia.
Menurut Babad Demak, masjid ini berdiri pada tahun 1477 atau sekitar abad ke-15 M. Hal ini juga ditegaskan dalam tesis karya Muhammad Zaki berjudul Kearifan Lokal Jawa Pada Wujud Bentuk dan Ruang Arsitektur Masjid Tradisional Jawa (Studi Kasus: Masjid Agung Demak) yang diterbitkan pada tahun 2017.
Menariknya, di sisi lain masjid, tepatnya pada bulus yang berada di mihrab bertuliskan angka tahu saka, yaitu 1401 saka atau sama dengan tahun 1479 Masehi. Ini menunjukkan transformasi yang dialami oleh Masjid Agung Demak selama beberapa tahun.
Secara garis waktu, pendirian masjid ini terdiri atas tiga waktu pembangunan. Pertama, di tahun 1466 masjid ini masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi. Kedua, di tahun 1477 masjid ini dibangun sebagai Masjid Kadipaten Glagahwangi.
Ketiga, pada tahun 1478, tatkala Raden Fatah diangkat sebagai Sultan Demak, ia merestorasi kondisi masjid secara besar-besaran. Dalam perjalanan perkembangan masjid ini, Walisanga dianggap terlibat langsung dalam meletakkan batu pertama hingga pembangunannya.
Lebih jauh lagi, Walisanga berperan sentral dalam meletakkan fondasi penyebaran Islam di Pulau Jawa. Mulai dari dakwah dari pintu ke pintu yang dilakukan Syekh Jumadil Kubro yang dinilai jitu menggaet masyarakat Jawa untuk memeluk Islam. Ada juga yang penyebarannya dilakukan secara masif dari surau ke surau.
Tercetuslah gagasan penting untuk mendirikan sebuah masjid sebagai simbol geliat dakwah Walisanga di Jawa. Sunan Kalijaga mengambil peran dalam merancang dan menyusun bentuk dan pola masjid, sehingga dikenal sebagai arsitek yang bertanggung jawab atas pendirian Masjid Agung Demak.
"Sunan Kalijaga membuat masjid dengan material kayu. Ia merancang masjid dengan kondisi iklim setempat yang relatif panas. Rumah khas tradisional Jawa diadopsi, sehingga masjid dengan atap tajug," ungkap Suwagiyo, juru kunci Masjid Agung Demak kepada Zaki dalam tesisnya.
Secara umum, masjid kuno di Jawa abad ke-15 dan ke-16 mempunyai bentuk yang sangat spesifik. Arsitektur periode itu merupakan transisi dari arsitektur Jawa Hindu atau Budha menuju arsitektur Jawa Islam.
Masjid Agung Demak menjadi bagian penting dari pusat Kota Demak, seperti halnya juga Masjid Agung Sang Cipta Rasa (Sunan Gunung Jati) yang menjadi ikon bersejarah dan bagian penting dari kota Cirebon.
Pada masa Kesultanan Demak, Masjid Agung Demak memegang kontribusi besar hingga berubah statusnya menjadi masjid kesultanan, yaitu setahun setelah Raden Fatah dinobatkan sebagai sultan Demak.
Raden Fatah juga memberikan fasilitas penuh demi menunjang lancarnya tradisi keilmuan dan penyebaran Islam. Masjid Agung Demak yang menjadi bagian dari pusat pemerintahan dan aset kerajaan, sering digunakan sebagai sarana bermusyawarah.
"Raden Fatah dan Kesultanan Demak merupakan representasi sinergi antara kekuasaan kesultanan dan pengembangan tradisi keilmuan Islam di Demak," imbuh Zaki.
Sebagaimana diketahui bahwa entitas bentuk Masjid Agung Demak dibentuk dengan unik dan khas. Itulah yang dapat membedakannya dengan masjid-masjid di wilayah lain di belahan dunia manapun.
Dengan bentuk atap geometris piramida tersusun tiga semakin keatas semakin kecil pada bangunan induk (dalem) dan atap limasan pada bangunan serambi (pendopo).
Masjid ini dinamakan dengan masjid dengan tipe tajug yaitu atap dengan model piramida, meskipun pada bangunan serambinya beratap limasan. Tipe tajug adalah tipe masjid Jawa merupakan dasar bangunan ibadah yang sangat spesifik pada Masjid Agung Demak.
Apabila dibagi menjadi tiga bagian yaitu; kepala, badan, dan kaki, tampak bahwa masjid ini memiliki elemen-elemen yang berada pada tiga bagian tersebut serta memperlihatkan struktur bangunannya.
Secara garis besar pola ruang linier Masjid Agung Demak terdiri dari ruang serambi dan ruang utama. Kedua ruang tersebut memiliki teritori dengan karakter masing-masing dengan kesesuaian ruangruangnya dengan berbagai elemen dan sifatnya.
Bangunan induk yang merupakan ruang utama Masjid Agung Demak ditandai dengan denah bujursangkar, memiliki empat soko guru di tengah bangunan, dinding bata pada tiap sisi-sisinya, pintu dan jendela, dan beratap tajug berjenjang tiga.
Baca Juga: Menelusuri Ramai dan Megahnya Kota Pelabuhan di Jepara Zaman VOC
Baca Juga: Surawisesa Beri Portugis Sunda Kelapa, Pajajaran Dihajar Demak-Cirebon
Baca Juga: Iktikaf Ramadan Dipanagara di Masjid Imogiri Mendorong Perang Jawa
Baca Juga: Jejak Diplomasi Politik Mataram Jawa dan Madura di Masjid Sampangan
Baca Juga: Masjid Syarif, Perdikan Keraton dalam Dakwah Kiai Syarif di Kartasura
Ruang mihrab atau tempat imam shalat, sebagai penanda orientasi ke arah kiblat yang menjadikan masjid secara keseluruhan memiliki orientasi sesuai dengan syari’at Islam yaitu ke arah kiblat yaitu Ka’bah di Mekah.
Empat buah soko guru yang terletak ditengah ruang utama menghadirkan konsep axis mundi atau poros bangunan induk masjid.
Ruang pendopo masjid bersifat profan dan terbuka, bangunan tanpa dinding. Delapan soko Majapahit pada tengah ruangan ditambah soko (penyangga) disekelilingnya, ditutup atap limasan.
Keindahan khas arsitektural Jawa yang melekat pada setiap elemen masjid, mengeratkan kaitannya dengan sejarah penyebaran Islam para Walisanga di Pulau Jawa. Hal itu juga yang dibuktikan oleh Masjid Agung Demak dan persebaran Islam yang pesat.
Source | : | Eprints undip |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR