Nationalgeographic.co.id—Achmad Djajadiningrat merupakan salah satu bentuk pejuang politik di zamannya. Bermodal ijazah HBS di Batavia, ia masih saja harus menjemput cita-cita yang tak mudah demi jadi Inlands Bestuur (pejabat pribumi).
Sebagai putra seorang bupati, ia mungkin dengan mudah memeroleh pekerjaan yang baik di birokrasi. "Ternyata tidak," tulis Iim Imadudin dalam jurnal Patanjala.
Ia menulisnya dalam jurnal ilmiah berjudul Pendidikan Kolonial dan Politik Asosiasi: Kajian Atas Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1877-1943) yang diterbitkan pada tahun 2015.
Sistem yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda, mengharuskannya bekerja mulai pada posisi terbawah. Achmad harus melakukan magang.
F.K. Overduijn mengungkap tiga golongan tingkat kerja dalam tatanan politik pemerintahan lokal. Golongan A adalah kedudukan wedana dan bupati; golongan B adalah kedudukan mantri; dan golongan C adalah kedudukan magang.
Dalam bukunya berjudul Benoeming, Promotie en pensioeneering van Inlandsche Ambtenaren op Java en Madoera (1900), Overdruijn menyebut bahwa "tidak seorangpun yang dapat dinaikkan (dibenoem) pangkatnya ke dalam kedudukan tingkat A tanpa lebih dahulu bekerja pada tingkat C dan B."
Proses kegiatan kerja magang ini tampaknya merupakan kebijakan pemerintah kolonial untuk mencetak kepala-kepala daerah yang memiliki tingkat loyalitas yang tinggi.
Selain itu juga digunakan untuk mempertahankan bentuk adminitasi pemerintahannya yang bercorak beamstenstaat (negara pegawai) di lingkungan lembaga Kepangrehprajaan.
Mula-mula ia magang di kantor kejaksaan Serang pada tahun 1898. Tidak lama kemudian, ia dipindah ke kantor Keresidenan Serang. Ia dikenal sabar dan telaten, barangkali berkat pendidikan masa kecilnya yang dinamis.
Dari pelajaran agama Islam, ia diajarkan tentang kesabaran. Belum lagi tempaan dan tekanan dari para teman sejawatnya, para santri yang lain.
Ketika masih pesantren di Karundang, Achmad yang kala itu merupakan anak wedana, memperoleh dera atas apa yang dikerjakan orang tuanya—sebagai pegawai kolonial yang umumnya dibenci kaum santri karena ayahnya bekerja untuk penjajah.
Seperti terlatih, kepiawaian dari buah kesabarannya selama masa kecilnya, mendorong Achmad memetiknya di kemudian hari. Selama beberapa kali berpindah tugas, ia tetap mendapat tekanan dari atasannya.
Source | : | jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR