Nationalgeigraphic.co.id—Para ilmuwan telah mengembangkan sistem peringatan dini tsunami. Peranti ini menggabungkan teknologi akustik dengan menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelegence (AI).
Sistem tersebut bertujuan untuk segera mengklasifikasikan gempa bumi dan menentukan potensi risiko tsunami.
Para ilmuwan mengusulkan penggunaan mikrofon bawah air, yang disebut hidrofon. Peranti ini bekerja untuk mengukur radiasi akustik yang dihasilkan oleh gempa bumi.
Penggunaan mikrofon bawah air itu membawa informasi tentang peristiwa tektonik. Bergeraknya jauh lebih cepat daripada gelombang tsunami.
Studi ini menyelidiki empat skenario gempa bumi masa lalu yang berbeda terkait dengan peristiwa tsunami.
Data yang didapat divektorisasi, dengan persegi panjang merah dan kuning mewakili dimensi, lokasi, dan orientasi gempa yang diproyeksikan.
Gempa bumi yang dianalisis yang pertama adalah tsunami pada 29 September 2009, Samoa.
Kemudian tsunami 21 Desember 2010 di Kepulauan Bonin, wilayah Jepang. Selanjutnya tsunami 14 Maret 2012, Kushiro, Jepang dan tsunami 25 Oktober 2013, di lepas pantai timur Honshu, Jepang.
Data tersebut diambil oleh model kebalikan yang diusulkan untuk radiasi akustik. Model komputasi melakukan triangulasi sumber gempa dan algoritma kecerdasan buatan mengklasifikasikan jenis dan besarnya slip.
Para ilmuwan kemudian menghitung properti penting seperti panjang dan lebar efektif, kecepatan pengangkatan, dan durasi, yang menentukan ukuran tsunami.
Tsunami adalah gelombang yang sangat merusak yang dapat menghancurkan infrastruktur pantai dan menyebabkan hilangnya nyawa.
Peringatan dini untuk bencana alam seperti itu sulit dilakukan karena risiko tsunami sangat bergantung pada ciri-ciri gempa bawah laut yang memicunya.
Gempa bumi bawah laut adalah peristiwa terjadinya gempa tektonik akibat pertemuan atau tubrukan dari lempeng tektonik. Peristiwa ini paling mungkin menghasilkan tsunami .
Untuk studi ini, para peneliti dari University of California, Los Angeles dan Cardiff University di Inggris mengembangkan sistem peringatan dini telah menerbitkan studi tersebut dalam Physics of Fluids, oleh AIP Publishing.
Makalah tersebut telah dipublikasikan dengan judul "Numerical validation of an effective slender fault source solution for past tsunami scenarios" yang bisa diperoleh secara daring.
Sistem tersebut menggabungkan teknologi akustik canggih dengan kecerdasan buatan. Peranti ini segera mengklasifikasikan gempa bumi dan menentukan potensi gempa bumi serta resiko tsunami.
Gempa bumi bawah laut dapat memicu tsunami jika sejumlah besar air dipindahkan, sehingga menentukan jenis gempa sangat penting untuk menilai risiko tsunami.
"Peristiwa tektonik dengan elemen slip vertikal yang kuat lebih cenderung menaikkan atau menurunkan kolom air dibandingkan dengan elemen slip horizontal," kata rekan penulis Bernabe Gomez.
“Dengan demikian, mengetahui jenis slip pada tahap awal penilaian dapat mengurangi alarm palsu dan meningkatkan keandalan sistem peringatan melalui validasi silang independen.”
Dalam kasus ini, waktu sangat penting. Sistem peringatan dini yang mengandalkan pelampung gelombang laut dalam untuk mengukur ketinggian air seringkali menyisakan waktu evakuasi yang tidak mencukupi.
Sebaliknya, para peneliti mengusulkan untuk mengukur radiasi akustik (suara) yang dihasilkan oleh gempa bumi. Besarannya akan membawa informasi tentang peristiwa tektonik dan bergerak jauh lebih cepat daripada gelombang tsunami.
Mikrofon bawah air, yang disebut hidrofon, merekam gelombang akustik dan memantau aktivitas tektonik secara real time atau waktu nyata.
Radiasi akustik bergerak melalui kolom air jauh lebih cepat daripada gelombang tsunami. Ia membawa informasi tentang sumber asal dan medan tekanannya dapat direkam di lokasi yang jauh, bahkan ribuan kilometer jauhnya dari sumber.
"Derivasi solusi analitik untuk medan tekanan adalah faktor kunci dalam analisis real-time," kata rekan penulis Usama Kadri.
"Tsunami dapat menjadi peristiwa sangat merusak serta menyebabkan banyak korban jiwa dan menghancurkan kawasan pesisir.
Selain itu, mengakibatkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan karena infrastruktur rusak."
Studi mereka, katanya, menunjukkan cara mendapatkan informasi ukuran dan skala tsunami yang cepat dan andal dengan memantau gelombang akustik-gravitasi.
Gelombang tersebut dapat bergerak melalui air, jauh lebih cepat daripada gelombang tsunami yang memungkinkan lebih banyak waktu sebelum mencapai daratan.
Pada studi ini, model komputasi yang dikembangkan melakukan triangulasi sumber gempa dari hidrofon dan algoritma kecerdasan buatan. Komputasi ini akan mengklasifikasikan jenis dan besarnya slip.
Baca Juga: Memprediksi Dampak Tsunami dalam Waktu Kurang dari Satu Detik
Baca Juga: Asteroid Chicxulub yang Membunuh Dinosaurus Memicu Tsunami Global
Baca Juga: Gelombang Letusan Tonga Sembilan Kali Lebih Tinggi dari Tsunami Jepang
Baca Juga: Israel Pernah Dihantam Mega Tsunami Neolitik Setinggi 16 Meter
Kemudian model tersebut menghitung properti penting seperti panjang dan lebar efektif, kecepatan pengangkatan, dan durasi, yang menentukan kemungkinan ukuran tsunami.
Penulis menguji model mereka dengan data hidrofon yang tersedia dan menemukannya hampir secara instan dan berhasil menggambarkan parameter gempa dengan tingkat komputasi yang rendah.
Mereka memperbaiki model dengan memfaktorkan lebih banyak informasi untuk meningkatkan akurasi karakterisasi tsunami.
Pekerjaan mereka memprediksi risiko tsunami adalah bagian dari proyek yang lebih besar untuk meningkatkan sistem peringatan bahaya.
Klasifikasi tsunami adalah aspek back-end dari perangkat lunak yang dapat meningkatkan keamanan anjungan dan kapal lepas pantai.
Source | : | Physics of Fluids,American Institute of Physics |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR