Nationalgeographic.co.id—Baru-baru ini beberapa negara di Asia Tenggara digegerkan oleh penyakit demam babi Afrika (ASF). Penyakit ini memang tidak dapat menular ke manusia, karena virusnya hanya bisa menyerang sel tertentu pada babi. Namun, dampaknya bisa merugikan dunia peternakan seperti halnya PMK pada hewan ternak 2022 silam.
Dunia mulai bergerak cepat untuk menanggulangi penyakit demam babi Afrika ini, termasuk Asia Tenggara. Penyakit ini sebelumnya diketahui sempat menular dan mencapai Tiongkok pada 2018. Namun, penyebarannya mulai bergerak ke selatan, mengancam babi domestik dan liar.
Penyakit demam babi Afrika memang tidak terlalu berbahaya bagi manusia, tetapi pada babi menyebabkan demam tinggi, pendarahan internal, dan paru-paru berisi cairan. Penyakit ini telah membunuh hingga 90 persen hewan yang terinfeksi.
Penyakit ini awalnya tersebar di sebagian besar Afrika dan menyebar ke Eropa Barat pada akhir 1950-an. Kemudian penyebaran demam babi Afrika terhenti pada pertengahan dekade 1990-an.
Barulah pada 2007, penyakitnya merebak di Georgia, dan terus ke timur sebagaimana yang dikonfirmasi Tiongkok pada Agustus 2018.
Indonesia baru-baru ini digegerkan dengan merebaknya demam babi ini. Februari lalu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat sudah ada sembilan kabupaten telah terpapar demam babi Afrika.
Penyakit demam babi Afrika pertama kali dilaporkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2019. Deteksi pertamanya di Provinsi Sumatra Utara. Laporan itu kemudian tersebar di berbagai provinsi termasuk di Bangka Belitung, Banten, Yogyakarta, NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Baru-baru ini, tepatnya pada 19 April 2023, Singapore Food Agency (SFA) menyetop impor babi dari Batam, karena melaporkan keberadaan penyakit demam babi Afrika. Melansir Kumparan, Batam adalah tempat yang besar dalam ekspor babi Indonesia. Babi bukanlah pangan utama di Indonesia, tetapi punya peran dalam perdagangan. Di Batam, setiap hari terdapat 1.000 babi yang diekspor.
Indonesia kemudian segera melakukan penyelidikan dengan mengambil sampel darah dan spesimen organ babi peternakan di Pulau Bintan, Batam, Kepulauan Riau.
"Mereka (Singapura) juga ingin mengetahui kepastian mengenai dugaan ternak di Pulau Bulan terjangkit ASF, karena ini menyangkut kepentingan dua negara," terang Aris Hadiyono, Kepala Balai Karantina Pertanian kelas II Tanjung Pinang di Harian Kompas.
Dirk Pfeiffer, epidemiolog hewan di City Univeristy of Hongkong menjelaskan bahwa berbagai upaya penanggulangan demam babi di berbagai negara tidak berhasil. Pihak berwenang di seluruh wilayah telah mengakui bahwa "kita harus belajar untuk hidup dengan virus," terangnya, dikutip dari Science.
Sebagai langkah pengendalian penyakit peternakan ini, Tiongkok lebih memilih pada kebijakan eliminasi. Kebijakan ini memusnahkan ternak dengan hewan yang terinfeksi dan melumpuhkan babi di zona tiga kilometer sekitar peternakan yang terinfeksi.
Source | : | Harian Kompas,Kumparan,Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR