Nationalgeographic.co.id—Charles III resmi dinobatkan sebagai raja Inggris Raya dan persemakmurannya pada 6 Mei 2023. Ia menggantikan ibundanya, Elizabeth II yang telah yang sebelumnya menjadi ratu lebih dari 70 tahun lamanya.
Saat penobatan mahkota atau yang biasa disebut koronasi, berbagai kalangan di Inggris berbondong-bondong berkumpul di sekitar Westminister, London. Mereka berusaha untuk bisa melihat rombongan kerajaan menuju tempat penobatan, walau aksesnya terbatas.
Selain itu, beberapa tamu Kerajaan Inggris Raya seperti Kaisar Jepang dan monarki dari negara lainnya juga tiba, demi mendukung dan memberi ucapan selamat kepada Raja Charles III.
Alih-alih merayakan penobatan raja baru, sebagian masyarakat Inggris justru mengadakan aksi damai. Mereka membawa spanduk warna kuning bertuliskan "Not my king (Bukan rajaku)". Kelompok ini adalah kalangan antimonarki yang telah lama beraksi menolak kemaharajaan Inggris.
Pada protes ini, enam orang telah ditangkap oleh kepolisian London. Kelompok protes dengan warna kuning menghiasi gerakannya ini adalah kalangan Republik yang telah berdiri sejak 1983, tetapi secara resmi berkampanye sejak 2006 untuk menghapus monarki.
Salah satu yang ditahan adalah Graham Smith, aktivis dan CEO Republik sejak tahun 2005, dan pernah bekerja di partai politik di Inggris dan Australia. Beberapa hari sebelum penobatan, ia menulis di majalah Time bahwa acara ini adalah "parade kesombongan yang mubazir".
"[Acara ini] menelan biaya seperempat miliar poundsterling untuk Charles berparade dan mengenakan topi di kepalanya ketika berada di tengah krisis biaya hidup―jadi itu benar-benar tidak dapat diterima," terangnya.
Keinginan kelompok Republik adalah menggeser Charles III sebagai kepala negara dengan pemilihan yang lebih demokratis, sepeti presiden. Mereka menuding, demokrasi harus ditegakkan di Inggris dengan pemilihan kepala negara.
"Karena kita tidak dapat meminta pertanggungjawaban Raja Charles dan keluarganya lewat kotak suara, tidak ada yang dapat menghentikan mereka menyalahgunakan hak istimewa mereka, menyalahgunakan pengaruh mereka, atau hanya membuang-buang uang kita," tulis kalangan Republik di situs mereka.
Protes antimonarki bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 2005 saat menjelang pernikahan Charles dan Camilla, dan mendapat dukungan di awal tahun 2010 ketika Pangeran William menikahi Kate Middleton.
"Ada banyak alasan untuk berpendapat bahwa sudah waktunya untuk menghapus monarki," terang Andrew Child di laman blog the London School of Economics and Political Science. Dia adalah direktur kelompok kampanye anti-monarki Inggris, sekaligus Strategic Communications Lead di European Climate Foundation.
"Cara termudah untuk memikirkan mengapa keadaan kita lebih baik tanpa monarki adalah dengan mengajukan pertanyaan sederhana: apa yang telah dilakukan monarki untuk kita?" lanjutnya.
Dia mengkritik dengan keras sistem monarki di Inggris yang cenderung penuh dengan glamor dan kemegahan. Di satu sisi, dalam politik luar negeri, Inggris juga kerap membantu operasi penegakan demokrasi di negara-negara lain, termasuk dalam Arab Springs. Akan tetapi, Inggris sendiri tidak menciptakan demokrasi semestinya.
Gerakan anti-monarki ini terus bertumbuh, terutama sejak meninggalnya Ratu Elizabeth II pada September 2022.
Jajak pendapat yang dilakukan Ipsos tahun 2021, menemukan bahwa pendukung monarki sebelumnya mencapai 76 persen suara, kemudian turun menjadi 60 persen dalam lima tahun. Survei YouGov juga menunjukkan bahwa pendukung monarki kebanyakan adalah kalangan tua. Kebanyakan dari penolaknya adalah kalangan muda terus bertumbuh.
Baca Juga: Analisis Batu Takdir yang Digunakan dalam Penobatan Charles III
Baca Juga: Benarkah Teh Jadi Penyebab Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris?
Baca Juga: Merasa Terhina, The Beatles Menolak Penghargaan dari Ratu Elizabeth II
Baca Juga: Ketika Kultur dan Musik Punk Membuat Monarki Inggris Jadi Gerah
Pewarta Fast Company Connie Lin menambahkan, intrik keluarga kerajaan juga punya masalah yang membuat monarki Inggris terganggu. Salah satunya adalah Raja Charles III yang sebelumnya punya masalah dalam pernikahannya dengan Putri Diana dari Wales di abad sebelumnya. Banyak kritikus dan pihak yang mencemoohnya sebagai pembawa kekacauan politik.
Gerakan kritik sistem monarki tidak hanya bergaung di dalam Inggris saja. Beberapa negara lainnya, terutama yang pernah mengalami penjajahan di bawah Inggris memiliki kritik yang sama dan bergaung di media sosial.
Seperti yang kita tahu bahwa ada banyak penjarahan besar-besaran yang pernah dilakukan Inggris. Perampasan wilayah, kedauluatan, dan harta terjadi di berbagai negeri di hampir seluruh duna di bawah kolonialismenya.
Salah satu kritik pada monarki dilakukan oleh senator kalangan pribumi Australia Lidia Thorpe. Pada Agustus 2022, dia menyindir Ratu Elizabeth II dalam sumpah jabatannya: "Saya yang berdaulat, Lidia Thorpe, dengan sungguh-sungguh dan tulus bersumpah bahwa saya akan setia dan saya memberikan kesetiaan sejati kepada penjajahan Yang Mulia Ratu Elizabeth II."
Andaikan Inggris Raya benar-benar berganti sistem politik dari monarki ke republik atau yang lebih demokratis, mungkin bisa menyebabkan perubahan besar-besaran di dunia menurut banyak pengamat. Misalnya seperti bubarnya negara-negara Persemakmuran Inggris, atau gerakan separatis di tubuh Inggris raya sendiri.
Source | : | Time,YouGov,The Guardian,London School of Economics and Political Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR