Singkatnya, atas keberhasilan ini, Kapita Mahasari meminta ia kembali sebagai manusia. Namun, Bai menolak karena burung hitam inilah wujud aslinya. Setelah itu, sang Kapita memberikanya tanah untuknya tinggal di perkampungan dan memberinya nama "Baikole".
Baca Juga: Ilmuwan Menemukan Tumpukan Kotoran Burung Kondor Berusia 2.200 Tahun
Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Mempengaruhi Musim Kawin Burung Global?
Baca Juga: Naga: Baik dalam Mitologi Asia, tetapi Jahat dalam Mitologi Eropa?
Baca Juga: Mitologi Tiongkok: Asal Usul Rubah Berekor Sembilan Memangsa Manusia
Menurut mitologi, Baikole juga berarti "Bai dari lembah Rumpun Teki"--tempat latar cerita ini. Karena keberhasilan dari sayembara inilah, burung baikole pun berdampingan dengan manusia dan berkembang biak di sekitar tempat penduduk.
Ada pula cerita mitologi lain yang menyebutkan bahwa penamaan burung baikole punya hubungannya dengan Kapita Baikole. Kapita Baikole dikenal sebagai panglima Kesultanan Tidore yang pandai bertempur (ada juga yang menyebutnya sebagai bajak laut keji dari Tidore).
Kemudian, sang sultan Tidore itu memberi gelar baikole kepada kapita tersebut. Bahkan, sultan membiarkan burung baikole berkembang biak dan beraktivitas di dekat manusia, dan meminta agar tidak ada satu pun warganya yang mengganggu burung.
Jika ada warga yang mengusik burung baikole, akan ada bencana yang akan datang baik kepada seseorang atau kepada negeri Tidore.
Cerita mitologi tentang burung baikole ini menggambarkan betapa dekatnya masyarakat Maluku Utara dengan alam sekitarnya. Melalui cerita tentang Kapita Baikole, masyarakat Maluku Utara sudah paham konservasi bahkan jauh sebelum definisi modernnya ada hari ini.
Source | : | kemdikbud.go.id |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR