Nationalgeographic.co.id—Di masa lalu, perempuan-perempuan Aceh dikenal sangat tangguh. Mereka berjuang di garis terdepan untuk membela negerinya dari serbuan atau kolonialisme bangsa asing. Sebutlah Cut Nyak Dien (1848—1908) yang bergelora mati-matian bersama suaminya, Teuku Umar.
Setelah suaminya meninggal, Cut Nyak Dien tidak patah arang. Mengutip dari arsip situs Gerakan Aceh Merdeka—bekas organisasi separatis Aceh—ia menyebut, "sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh meneteskan air mata untuk siapapun yang menjadi syahid". Meski sumber ini masih diragukan, setidaknya menunjukkan ketekadan perempuan Aceh untuk tetap bergelora.
Aceh memang dikenal sebagai kesultanan Islam, bahkan kerajaan Nusantara, terakhir yang jatuh di tangan kolonialisme Belanda.
Oleh karena itu, ada kalangan yang berpendapat bahwa Cut Nyak Dien sebenarnya menggunakan hijab dalam sehari-harinya. Pasalnya, penggunaan hijab adalah anjuran wajib bagi seorang muslim perempuan, karena menutup auratnya.
Pendapat Cut Nyak Dien berhijab adalah misinformasi. Sejak awal, ia memang tidak menggunakan hijab, sebagaimana perempuan Aceh pada masanya.
Buktinya adalah foto ketika Cut Nyak Dien ditangkap saat dalam keadaan sakit pada 4 November 1905. Foto itu menggambarkan bagaimana Cut Nyak Dien sedang duduk dan sakit. Ia masih menggunakan pakaian kesehariannya.
Melihat foto ini, berbagai pihak justru mengatakan bahwa Cut Nyak Dien tidak menggunaka hijab karena dilepas oleh pihak Hindia Belanda. Dalam sebuah kiriman, foto sosok perempuan dengan kain songket Aceh di kepala seperti hijab.
Foto itu ternyata adalah istri dari Panglima Polim di koleksi Tropenmuseum. Akan tetapi, itu tidak membuktikan bahwa perempuan Aceh pada abad ke-19 dan abad ke-20 berhijab. Pada foto lain, sosok perempuan dari Panglima Polim ini justru tidak menggunakan hijab.
Saya pun pernah mengunjungi Blora untuk menziarahi makam Pocut Meurah Intan (?—1937), pahlawan Aceh yang sezaman dengan Cut Nyak Dien. Dia dibuang ke Blora setelah kalah perang dengan Hindia Belanda, kemudian seorang penghulu di Blora bernama RMN Dono Muhammad bersama keluarganya merawat Pocut Meurah Intan.
Menurut penuturan Mochamad Djamil, cucu dari RMN Dono Muhammad, sosok perempuan Aceh ini tidak selalu menggunakan hijab dalam kesehariannya. Dia juga hidup tertutup di rumah persembunyian si penghulu agar tidak terungkap pihak militer Hindia Belanda, hingga akhir hayatnya.
Pocut Meurah Intan hanya menggunakan pakaian yang dibawanya dari Aceh, menurut kesaksian RMN Dono. Setelah Pocut Meurah Intan, hanya sedikit peninggalannya yang terselamatkan di rumah karena keluarga tuan rumah punya permasalahan setelah meninggalnya sang penghulu.
Source | : | detik,National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR