Sumber-sumber sejarah memberikan sedikit catatan tentang onna-bugeisha. Itu karena peran tradisional seorang wanita bangsawan Jepang terbatas pada ibu rumah tangga dan istri.
Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa wanita di Kekaisaran Jepang sering bertempur dalam perang. Sisa-sisa dari lokasi Pertempuran Senbon Matsubaru pada tahun 1580 menunjukkan 35 dari 105 mayat adalah wanita.
Pertempuran Aizu dianggap sebagai pertahanan terakhir onna-bugeisha
Selama Pertempuran Aizu tahun 1868, seorang pejuang wanita berusia 21 tahun bernama Nakano Takeko memimpin sekelompok samurai wanita. Mereka melawan pasukan kaisar. Takeko adalah putri seorang pejabat tinggi di istana Kekaisaran Jepang. Berasal dari keluarga bangsawan, ia berpendidikan tinggi dan terlatih dalam seni bela diri dan penggunaan naginata.
Di bawah komandonya, pasukannya bertempur bersama samurai pria, membunuh banyak prajurit musuh dalam pertempuran jarak dekat.
Dalam pertempuran, Takeko terkena peluru di dadanya. Dengan nafas terakhirnya, ia meminta saudara perempuannya memenggal kepalanya agar tubuhnya tidak diambil sebagai piala musuh.
Nakano Takeko dipandang sebagai prajurit samurai wanita hebat terakhir. Dan Pertempuran Aizu dianggap sebagai pertahanan terakhir onna-bugeisha.
Tidak lama setelah itu, era samurai berakhir.
Status mereka jatuh selama Zaman Edo
Munculnya periode Edo pada awal abad ke-17, terdapat perubahan besar pada status wanita di Jepang. Meskipun wanita terus berperang, status mereka perlahan mulai berkurang.
Saat samurai pria mengalihkan fokus mereka dari perang ke pekerjaan mengajar atau birokrasi, fungsi onna-bugeisha berubah.
Banyak samurai mulai memandang wanita murni sebagai “penghasil” anak, tidak cocok sebagai pendamping dalam perang. Perjalanan selama periode Edo menjadi sulit bagi onna-bugeisha, karena mereka tidak diizinkan melakukannya tanpa pendamping laki-laki.
Kisah kepahlawanan onna-bugeisha mulai memudar di abad ke-19
Sementara itu, orang Barat mulai menulis ulang sejarah budaya perang Jepang. Saat itu, seluruh dunia mengambil gagasan bahwa prajurit samurai adalah pria.
Pencarian heroik onna-bugeisha terkubur di halaman sejarah. Wanita Jepang digambarkan sebagai penurut dan tunduk, mengenakan kimono dan obi yang terikat erat.
Setelah berdirinya Keshogunan Tokugawa dan Restorasi Meiji, status wanita Jepang dalam masyarakat mengalami transformasi yang signifikan. Hal ini menyebabkan pergeseran total posisi onna-bugeisha dan remaja putri pada umumnya.
Era modern membawa penurunan pengaruh samurai dan wanita terbatas pada tanggung jawab domestik dan tradisional feminin. Akibatnya, ingatan tentang onna-bugeisha pun mulai memudar.
Source | : | History Hit |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR