Nationalgeographic.co.id—Sejarah peperangan dipenuhi dengan pahlawan atau tokoh-tokoh pria. Jika ditelusuri dengan saksama, sejarah dipenuhi dengan kaum wanita yang berjuang demi negara, kerajaan, tempat tinggal, atau keluarga. Salah satu yang jarang terdengar adalah kisah para samurai wanita yang pemberani di Kekaisaran Jepang. Mereka adalah onna-bugeisha.
Siapa onna-bugeisha?
Onna-Bugeisha adalah prajurit samurai yang ganas dan terampil. Mereka ada di sebagian besar sejarah feodal pra-modern Kekaisaran Jepang.
Dikenal juga sebagai onna-musha, para wanita ini sangat terlatih dan bertempur bersama samurai pria saat perang.
Sebagai samurai wanita, adalah tugas mereka untuk melindungi rumah tangga, keluarga, dan kehormatan.
Sebagai anggota kelas bushi atau prajurit, onna-bugeisha dilatih seni pertempuran dengan berbagai senjata. Selama pertempuran, samurai wanita ini memiliki keberanian seperti samurai pria.
Periode Kamakura, Sengoku, juga Edo semuanya dipenuhi dengan kisah kepahlawanan mereka. Permaisuri Jingū, Tomoe Gozen, Hangaku Gozen, dan wanita dari Aizu adalah contoh luar biasa dari samurai wanita yang legendaris.
Salah satu onna-bugeisha pertama adalah seorang permaisuri di Kekaisaran Jepang
Sejarah onna-bugeisha dapat ditelusuri kembali ke Permaisuri Jingu (169-269), salah satu prajurit wanita pertama dalam sejarah Kekaisaran Jepang.
Setelah kematian suaminya, Kaisar Chuai, dia naik takhta dan secara pribadi memimpin invasi ke Silla (Korea).
Jingu adalah seorang samurai menakutkan yang menentang setiap norma sosial di masanya. Menurut sejarah, sang permaisuri sedang dalam kondisi hamil ketika mengikat tubuhnya dan mengenakan pakaian pria untuk berperang.
Legenda mengatakan bahwa dia memimpin ekspedisi yang sukses tanpa menumpahkan setetes darah pun. Permaisuri memerintah Kekaisaran Jepang selama 70 tahun berikutnya hingga usia 100 tahun.
“Pada tahun 1881, Jingu menjadi wanita pertama yang muncul di uang kertas Jepang,” tulis Leonie Chao-Fong di laman History Hit.
Senjata utama mereka adalah naginata
Onna-bugeisha dilatih untuk menggunakan senjata yang dirancang khusus untuk prajurit wanita Jepang, yang disebut naginata.
Sebuah naginata terdiri atas batang kayu dengan mata pisau melengkung di ujungnya. Panjangnya membuat onna-bugeisha memiliki keseimbangan yang lebih baik mengingat perawakannya yang lebih kecil dari pria.
Selama tahun-tahun damai periode Edo, naginata menjadi simbol status dan sering menjadi bagian dari mahar wanita bangsawan.
Kemudian di era Meiji, ini menjadi populer sebagai seni bela diri untuk wanita Kekaisaran Jepang.
Salah satu onna-bugeisha yang paling terkenal adalah Tomoe Gozen
Perang Genpei (1180-85) antara dinasti samurai Minamoto dan Taira memunculkan salah satu pejuang wanita terhebat. Ia adalah Tomoe Gozen.
Tomoe Gozen adalah seorang samurai wanita legendaris dengan keahlian memanah, menunggang kuda, dan seni katana (pedang ikonik yang digunakan oleh samurai).
Pada The Tale of Heike abad ke-14, Gozen digambarkan sebagai:
“Seorang pemanah yang luar biasa kuat. Sebagai seorang wanita berpedang, ia adalah prajurit bernilai seribu, siap untuk menghadapi setan atau dewa, berkuda atau berjalan kaki.”
Gozen dikenal sebagai salah satu dari sedikit pejuang wanita di Kekaisaran Jepang yang terlibat dalam pertempuran ofensif.
Di medan perang, dia dihormati dan dipercaya oleh pasukannya. Pada tahun 1184, dia memimpin 300 samurai dalam pertempuran sengit melawan 2.000 prajurit Klan Taira. Gozen merupakan salah satu dari hanya 5 yang bertahan hidup setelah perang itu.
Selama Pertempuran Awazu, ia mengalahkan pemimpin Klan Musashi, memenggalnya dan menjadikan kepalanya sebagai piala.
Reputasi Gozen begitu tinggi sehingga dikatakan bahwa pemimpinnya, Lord Kiso no Yoshinaka. “Sang pemimpin bahkan menganggapnya sebagai jenderal sejati yang pertama di Kekaisaran Jepang,” imbuh Fong.
Berasal dari kalangan bangsawan
Onna-bugeisha termasuk dalam bushi, kelas bangsawan prajurit feodal Jepang. Kelas bangsawan ini sudah ada jauh sebelum istilah samurai mulai digunakan.
Antara abad ke-12 dan ke-19, para wanita kelas atas ini dilatih seni perang dan penggunaan naginata. Ini dilakukan terutama untuk mempertahankan diri dan rumah mereka.
Jika komunitas mereka dikuasai oleh prajurit musuh, onna-bugeisha diharapkan untuk bertarung sampai akhir dan mati dengan terhormat. Senjata tetap berada di tangan mereka bahkan ketika tewas di tangan musuh.
Mereka membentuk sebagian besar samurai
Selama berabad-abad setelah pemerintahan Tomoe Gozen, onna-bugeisha berkembang pesat dan menjadi bagian besar dari kelas samurai.
Prajurit wanita akan melindungi desa dan membuka sekolah di seluruh kekaisaran Jepang. Mereka melatih wanita muda dalam seni bela diri dan strategi militer.
Meskipun ada banyak klan berbeda yang tersebar di seluruh Kekaisaran Jepang, semuanya termasuk prajurit samurai. Onna-bugeisha terbuka untuk siapa pun.
Sumber-sumber sejarah memberikan sedikit catatan tentang onna-bugeisha. Itu karena peran tradisional seorang wanita bangsawan Jepang terbatas pada ibu rumah tangga dan istri.
Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa wanita di Kekaisaran Jepang sering bertempur dalam perang. Sisa-sisa dari lokasi Pertempuran Senbon Matsubaru pada tahun 1580 menunjukkan 35 dari 105 mayat adalah wanita.
Pertempuran Aizu dianggap sebagai pertahanan terakhir onna-bugeisha
Selama Pertempuran Aizu tahun 1868, seorang pejuang wanita berusia 21 tahun bernama Nakano Takeko memimpin sekelompok samurai wanita. Mereka melawan pasukan kaisar. Takeko adalah putri seorang pejabat tinggi di istana Kekaisaran Jepang. Berasal dari keluarga bangsawan, ia berpendidikan tinggi dan terlatih dalam seni bela diri dan penggunaan naginata.
Di bawah komandonya, pasukannya bertempur bersama samurai pria, membunuh banyak prajurit musuh dalam pertempuran jarak dekat.
Dalam pertempuran, Takeko terkena peluru di dadanya. Dengan nafas terakhirnya, ia meminta saudara perempuannya memenggal kepalanya agar tubuhnya tidak diambil sebagai piala musuh.
Nakano Takeko dipandang sebagai prajurit samurai wanita hebat terakhir. Dan Pertempuran Aizu dianggap sebagai pertahanan terakhir onna-bugeisha.
Tidak lama setelah itu, era samurai berakhir.
Status mereka jatuh selama Zaman Edo
Munculnya periode Edo pada awal abad ke-17, terdapat perubahan besar pada status wanita di Jepang. Meskipun wanita terus berperang, status mereka perlahan mulai berkurang.
Saat samurai pria mengalihkan fokus mereka dari perang ke pekerjaan mengajar atau birokrasi, fungsi onna-bugeisha berubah.
Banyak samurai mulai memandang wanita murni sebagai “penghasil” anak, tidak cocok sebagai pendamping dalam perang. Perjalanan selama periode Edo menjadi sulit bagi onna-bugeisha, karena mereka tidak diizinkan melakukannya tanpa pendamping laki-laki.
Kisah kepahlawanan onna-bugeisha mulai memudar di abad ke-19
Sementara itu, orang Barat mulai menulis ulang sejarah budaya perang Jepang. Saat itu, seluruh dunia mengambil gagasan bahwa prajurit samurai adalah pria.
Pencarian heroik onna-bugeisha terkubur di halaman sejarah. Wanita Jepang digambarkan sebagai penurut dan tunduk, mengenakan kimono dan obi yang terikat erat.
Setelah berdirinya Keshogunan Tokugawa dan Restorasi Meiji, status wanita Jepang dalam masyarakat mengalami transformasi yang signifikan. Hal ini menyebabkan pergeseran total posisi onna-bugeisha dan remaja putri pada umumnya.
Era modern membawa penurunan pengaruh samurai dan wanita terbatas pada tanggung jawab domestik dan tradisional feminin. Akibatnya, ingatan tentang onna-bugeisha pun mulai memudar.
Source | : | History Hit |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR