Nationalgeographic.co.id—Endokanibalisme adalah praktik budaya berupa ritual yang melibatkan konsumsi daging manusia oleh anggota komunitasnya. Suatu ritus yang menjadi bagian panjang dalam sejarah manusia.
Meskipun mungkin tampak menjijikkan bagi kebanyakan orang, endokanibalisme telah dipraktikkan oleh berbagai masyarakat sepanjang sejarah dan masih dijumpai di beberapa bagian dunia saat ini.
Tentang sejarah dan asal usul dari praktik endokanibalisme tidak dapat diketahui dengan baik, tetapi diperkirakan sejarah ritual aneh ini muncul sebagai cara untuk menghormati dan mengenang orang mati.
Dalam beberapa budaya, sejarah endokanibalisme dengan memakan daging anggota keluarga yang telah meninggal, dipandang sebagai cara untuk memasukkan esensi mendiang ke dalam tubuh orang yang masih hidup dan melestarikan ingatan mereka.
Bagi para penganut kepercayaan endokanibalisme, hal itu dapat diyakini sebagai cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada sang mendiang dan memastikan bahwa jiwa mereka pergi dengan damai ke alam baka.
Terlepas dari signifikansi budayanya, endokanibalisme adalah praktik yang sangat kontroversial dan telah menjadi sasaran kritik yang intens. Namun, terlepas dari kontroversinya, sejarah endokanibalisme menarik untuk dibahas.
Endokanibalisme bukanlah fenomena baru dan telah dipraktikkan oleh berbagai budaya sepanjang sejarah. Salah satu contoh paling terkenal adalah orang-orang Fore di Papua Nugini.
Mereka mempraktikkan ritus endokanibalisme yang dikenal sebagai "pesta kamar mayat". Orang-orang Fore percaya bahwa memakan daging orang yang mereka cintai yang telah meninggal, adalah akan menghormati mereka dan memastikan bahwa roh mereka tetap bersama yang hidup.
Contoh endokanibalisme lainnya dapat ditemukan di peradaban Aztec di Meksiko kuno. Menurut catatan sejarah, suku Aztec terlibat dalam ritual pengorbanan dan memakan daging korban mereka sebagai cara untuk menenangkan para dewa dan memastikan panen yang baik.
Demikian pula, orang Maori di Selandia Baru mempraktikkan suatu bentuk endokanibalisme yang dikenal sebagai "mokomokai". Ritus ini melibatkan pengawetan kepala anggota suku yang telah meninggal.
Uniknya, kepala anggota suku itu kemudian "dihias dengan tato dan ditampilkan sebagai tanda penghormatan kepada orang mati," tulis Andrei Tapalaga kepada History of Yesterday dalam artikelnya Endocannibalism: The Strange Ritual Of Consuming Human Flesh, terbitan 17 Mei 2023.
Sejarah endokanibalisme juga dapat dilihat dari ritus suku Indian Amahuaca di Peru mengambil partikel tulang dari abu api kremasi, menumbuknya dengan jagung, dan meminumnya sebagai semacam bubur.
Jika menarik dari benang sejarahnya, maka dapat diketahui bahwa ritus mengerikan nan menjijikan ini mungkin masih bertahan hingga di zaman modern.
"Endokanibalisme mungkin tampak seperti peninggalan dari masa lalu, itu masih dipraktikkan di beberapa bagian dunia saat ini," imbuhnya.
Salah satu contohnya adalah sekte Hindu Aghori, yang mempraktikkan suatu bentuk endokanibalisme yang dikenal sebagai "kapala moksha". Ini melibatkan konsumsi daging manusia dan penggunaan tengkorak manusia sebagai objek upacara.
Demikian pula, orang Korowai di Papua Nugini diketahui mempraktikkan endokanibalisme sebagai bagian dari tradisi budaya mereka.
Suku Korowai percaya bahwa memakan daging kerabat mereka yang telah meninggal adalah cara untuk memastikan bahwa roh mereka tetap dekat dan pengetahuan serta kebijaksanaan mereka diturunkan ke generasi mendatang.
Sementara endocannibalism mungkin memiliki signifikansi budaya bagi mereka yang mempraktikkannya, praktiknya sangat kontroversial dan menimbulkan banyak pertanyaan etis.
Bagaimanapun, "salah satu kekhawatiran yang paling mendesak adalah potensi risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi daging manusia," terusnya.
Mengkonsumsi daging manusia dapat menularkan penyakit dan virus, termasuk penyakit prion seperti penyakit Creutzfeldt-Jakob (CJD), yang bisa berakibat fatal.
Penyakit prion manusia datang dalam bentuk sporadis, genetik, dan menular. Kuru adalah penyakit prion manusia menular pertama yang ditemukan.
Penelitian sejarah menunjukkan bahwa epidemi kuru mungkin berasal sekitar tahun 1900 M dari satu individu yang tinggal di tepi wilayah Fore, dan diperkirakan secara spontan mengembangkan beberapa bentuk penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit prion terkait.
Epidemi ini menyebar melalui orang-orang Fore Papua Nugini, di antaranya sesama kerabat yang memakan tubuh almarhum untuk mengembalikan "kekuatan hidup," almarhum hingga jiwanya seolah tetap berada bersama mereka.
Selain itu, praktik endokanibalisme telah dikritik sebagai pelanggaran martabat dasar manusia dan penghormatan terhadap orang mati. Dikatakan bahwa memakan daging almarhum adalah tindakan yang merendahkan dan tidak sopan.
Menariknya, jika menilik sejarahnya, bagi orang-orang Wari' di Brasil bagian barat, endokanibalisme adalah tindakan welas asih di mana sisa-sisa panggang sesama Wari' dikonsumsi di kamar mayat.
"Idealnya, affine (kerabat karena perkawinan) akan memakan seluruh jenazah, dan menolak praktik tersebut akan menyinggung anggota keluarga langsung," tambah Andrei.
Bagaimanapun, endokanibalisme dengan wabah yang disebabkannya masih menjadi kontroversi terkait etika maupun medis. Saat ini tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan atau bahkan pengobatan untuk mengendalikan kuru.
Meski sulit dikendalikan, terdapat banyak program yang didanai oleh universitas dan lembaga nasional, seperti National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) untuk berupaya mengendalikan kuru.
Source | : | History of Yesterday |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR