Nationalgeographic.co.id—Perolehan wahyu atau 'pulung' seakan jadi satu budaya yang lazim dalam mitologi Jawa, khususnya yang berkaitan dengan unsur politik. Meskipun bersifat mistis, mitologi Jawa ini nyatanya masih berkembang hari ini.
Pulung dalam mitologi Jawa umumnya masih dipercaya oleh masyarakat tradisi di pedesaan. Hemat penulis, pulung sebagai mitologi Jawa memainkan hal unik nun menarik yang mungkin tidak akan ditemukan dalam kancah politik nasional.
"Kepercayaan tradisional menempatkan pulung sebagai alarm seseorang mengantongi anugerah sekaligus amanat," tulis Riza Multazam Luthfy, dosen Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, menulis dalam artikelnya 'Pulung’ dalam Mitologi Jawa yang terbit di harian Kedaulatan Rakyat pada 2016.
Pulung merasuk pada kancah politik lokal, umumnya terjadi dalam ruang politik pemilihan kepala desa atau agenda politik pedesaan lainnya. Masyarakat desa meyakini pulung berbentuk seberkas cahaya berwarna biru atau hijau.
Dalam mitologi Jawa, terdapat kepercayaan, "sebelum menjalankan titah, pemimpin desa memperoleh seberkas cahaya biru dari langit yang meluncur ke samping atau mengenai rumahnya," imbuh Riza dalam tulisannya yang dimuat di Kedaulatan Rakyat.
Sang jawara dalam kancah politik demokrasi tingkat desa, seperti halnya lurah yang menang dalam pilkades, dialah yang direstui dan diyakini rumahnya telah didatangi seberkas cahaya yang disebut dengan pulung.
Pulung seolah menyimpan kekuatan gaib yang mengantarkan seseorang untuk menduduki kursi kekuasaan.
"Dalam perspektif agama, ia ibarat wahyu yang dengannya seseorang menjalankan misi kenabian," lanjutnya. Tak ayal jika orang-orang Jawa yang berpandangan konservatif, akan mengkultuskan pulung.
Penilaian publik mengenai kelayakan seorang pemimpin terpilih, tidak serta-merta berangkat dari kejujuran, transparansi, serta loyalitasnya pada maayarakat, melainkan kepada siapa pulung berpihak.
Lantas, kredibilitas seorang pemimpin diukur dengan dukungan gaib, bukan prestasi, karakter, serta kerja kerasnya. Fenomena ini malah kerap dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk meraup keuntungan.
Tidak jarang para oknum ini sengaja menyebar desas-desus bahwa salah seorang pesaing politiknya telah memperoleh pulung. Harapannya, optimisme dan semangat pendukung calon kepala desa lain menjadi menurun.
Pada dasarnya, pulung merupakan mitologi Jawa yang diperkirakan sudah lestari sejak era Hindu berkembang pesat di Indonesia. Sejak lama, pulung jadi pertanda atau simbolisme bagi manusia terpilih.
Ini menjelaskan adanya hubungan antara budaya politik dengan keyakinan manusia. Suasana batin dan psikologi tim sukses rentan terpengaruh oleh peristiwa turunnya pulung dari atas. Pulung menghidangkan sesuatu yang kontradiktif.
Riza juga mengisahkan satu hal unik tentang gilanya seorang warga karena berusaha mencuri kentongan demi menarik pulung. "Praktik perdukunan dalam pilkades di Desa Gelap, Lamongan, telah menyebabkan seseorang menjadi gila," jelasnya.
Menurut paranormal, cara untuk menarik pulung adalah dengan mencuri tabuh kentongan pesaing politiknya dalam pilkades.
Entah bagaimana yang terjadi, warga dari tim sukses yang mencuri tabuh kentongan mendadak terserang penyakit kejiwaan. Dari kisah Riza ini menyiratkan bahwa pulung sangat berpengaruh sebagai alat politik di kancah politik lokal.
Warga tersebut menjadi korban dari ambisi politik desa, dengan menghalalkan segala cara, termasuk menyuruhnya mencuri tabuh kentongan untuk menarik pulung berpindah kepada kelompoknya.
"Dalam perilaku seperti ini, tersimpan asumsi bahwa kejayaan bukan turun dari langit, melainkan atas jerih payah manusia. Kejayaan yang dicapai manusia sebanding dengan ikhtiar dan kerja," terusnya.
Riza melanjutkan bahwa pengorbanan semacam ini harus dilakukan. Bagaimanapun, jabatan kepala desa meniscayakan upaya sungguh-sungguh yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Selain itu, fenomena pulung dalam mitologi Jawa menggambarkan kepercayaan publik yang berpandangan konservatif bahwa pemimpin politik yang mendapatkan wahyu berupa pulung adalah bagian dari legitimasi politik.
Tidak semua orang akan dianugerahkan wahyu berupa jatuhnya pulung kepadanya. Sehingga, pemimpin politik adalah manusia terpilih yang tak bisa diganggu gugat. Menandakan masih minimnya politik koreksi dalam kondisi seperti ini.
Salah satu sastrawan Jawa dan pujangga keraton, Ranggawarsita pernah menuliskan sastra tentang pulung. Disebutkan bahwa pulung adalah wahyu yang dinantikan keberpihakannya, sehingga seseorang yang terkena pulung diramalkan akan menjadi tokoh terkemuka.
Bagi Ranggawarsita, pulung tidak hanya berbicara tentang politik belaka, tetapi lebih kepada petunjuk yang membawa hidupnya kepada suatu jalan yang dinantikan. Barangkali inilah yang menjadikan Ranggawarsita sebagai tokoh terkemuka di zamannya.
Saat memasuki era di mana manusia semakin cerdas dan kalkulatif, keyakinan terhadap pulung semakin ditinggalkan. Kaum modernis mulai meragukan mitologi Jawa ini, serta budaya yang dianggap kurang rasional.
Gejala mengkota pada wilayah perdesaan Jawa akhir-akhir ini membuat masyarakat berpola pikir urban. Mereka cenderung berpikir logis-praktis. Mereka berpandangan, terpilihnya seseorang menjadi kepala desa berkat kepiawaiannya mengundang simpati.
Bisa diperkirakan, pulung sudah semakin ditinggalkan meskipun tidak menutup kemungkinan, masyarakat tradisi yang mesih bertahan masih memercayai adanya pulung hari ini.
Source | : | 'Pulung’ dalam Mitologi Jawa (2016) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR