Nationalgeographic.co.id—Penelitian baru yang dipimpin Stanford University telah mengukur manfaat mangrove untuk ekonomi dan mitigasi perubahan iklim. Menurut penelitian tersebut, manfaat mangrove tidak hanya dapat menjadi solusi atas perubahan iklim, tapi juga dapat menjadi mesin ekonomi.
Temuan itu, dapat menjadi pelajaran bagi negara-negara pesisir yang mencari cara untuk menyeimbangkan tujuan iklim di bawah Perjanjian Paris dengan pembangunan ekonomi.
Hasil penelitian baru tersebut telah diterbitkan di nature ecology & evolution dengan judul "Evidence-based target setting informs blue carbon."
Untuk diketahui, sebuah negara kecil di Amerika Tengah sedang memetakan jalan untuk memperlambat perubahan iklim, sekaligus meningkatkan ekonomi dan membuat masyarakat lebih aman.
Penelitian baru ini, mencoba menghitung nilai hutan mangrove pesisir Belize dalam hal berapa banyak karbon yang dapat mereka simpan, nilai yang dapat mereka tambahkan untuk pariwisata dan perikanan, dan perlindungan yang dapat mereka berikan terhadap badai pesisir dan risiko lainnya.
Yang penting, temuan ini telah memberikan dasar bagi komitmen Belize untuk melindungi atau merestorasi hutan mangrove tambahan seluas ukuran Washington, D.C., pada tahun 2030. Pendekatan ini menjadi pelajaran bagi banyak pihak lainnya, terutama negara pesisir.
“AS memiliki salah satu garis pantai terbesar di dunia, dan lahan basah yang luas,” kata penulis utama studi Katie Arkema, seorang ilmuwan di Proyek Modal Alam Stanford pada saat penelitian, sekarang di Laboratorium Nasional Pasifik Barat Laut dan Universitas dari Washington.
“Makalah ini menawarkan pendekatan yang dapat kami gunakan untuk menetapkan tujuan ketahanan iklim dan pembangunan ekonomi berbasis bukti.”
Banyak negara telah berjuang untuk memenuhi komitmen iklim internasional mereka. Solusi berbasis alam, seperti mengunci atau menyimpan karbon di hutan mangrove, padang lamun, dan rawa-rawa garam.
Itu semua memang dapat memberikan solusi yang menjanjikan – mereka membantu negara-negara mengurangi emisi gas rumah kaca mereka dan juga beradaptasi dengan perubahan iklim.
Namun, negara-negara pesisir utama, termasuk A.S., sebagian besar mengabaikan apa yang disebut sebagai strategi karbon biru ini.
Pengawasan tersebut sebagian disebabkan oleh kompleksitas penghitungan berapa banyak karbon yang dapat diserap oleh lahan basah dan ekosistem pesisir lainnya, dan di mana menerapkan strategi ini untuk memaksimalkan manfaat tambahan bagi ekonomi, pengurangan risiko banjir, dan sektor lainnya.
Source | : | Nature,Stanford University |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR