Nationalgeographic.co.id—Periode Asuka (538 – 710 Masehi) merupakan kelanjutan periode Kofun. Bagian akhir periode Yamato yang berkuasa dari 250 hingga 710 Masehi.
Kala itu sejarah kekaisaran Jepang mencatat Ratu Suiko dan wakilnya Pangeran Shotoku menjadi penguasa yang sangat berpengaruh pada periode Asuka. Sang Pangeran adalah putra kedua dari Kaisar Yomei.
Pangeran Shotoku juga dikenal sebagai Umayado no Miko, berperan besar dalam reformasi pemerintahan, pemberantasan korupsi dan menghilangkan sistem warisan pejabat, serta mengukuhkan hubungan dengan kekaisaran Tiongkok.
Berdasarkan catatan sejarah kekaisaran Jepang, Nihon Shoki yang ditulis tahun 720 masyarakat Jepang sangat berduka atas kematian pangeran yang baik ini.
Dikutip dari World History “Matahari dan bulan kehilangan cahanya, surga dan bumi runtuh menjadi puing-puing lalu kepada siapa kita menaruh kepercayaan?”
Taishi Shotoku memiliki kontribusi besar dalam historiografi kekaisaran Jepang. Sang pangeran bersama Soga no Umako menyunting buku sejarah kekaisaran Jepang yang berjudul Kokuki dan Tennoki di tahun 620.
Shotoku lahir dari putri Hashihito no Anahobe di tahun 574, memiliki hubungan darah sangat erat dengan klan Soga. Ayahnya, kaisar Yomei memerintah kekaisaran Jepang dalam waktu yang sangat singkat. Dua tahun memerintah kekaisaran Jepang, kaisar Yomei sakit dan meninggal dunia.
Sejarah mencatat berbagai peristiwa politik rumit terjadi untuk memperebutkan kekuasaan. Suiko istri dari Kaisar Bidatsu diangkat menjadi kaisar menggantikan Kaisar Sushun.
Kaisar Sushun adalah saudara tiri Kaisar Yomei. Seiring dengan naiknya tahta Kaisar Suiko bibinya, Shotoku menjadi putra mahkota dan bupati pada tahun 593 sampai dengan kematiannya.
Peristiwa politik perode Asuka terjadi kembali ketika pendiri klan Fujiwara, Fujiwara no Kamatari melakukan kudeta mengambil alih kekuasaan klan Soga yang saat itu mendominasi. Klan Soga memiliki asal-usul dari Korea dan mereka sudah mengendalikan pemerintahan sejak tahun 587 Masehi.
Pemerintahan yang baru dirombak ulang sesuai garis Tiongkok yang dikenal sebagai Reformasi Taika (Taika no Kaishin) di mana tanah dinasionalisasi, pajak dibayar dalam bentuk barang bukan tenaga, peringkat sosial dikategori ulang, ujian masuk pegawai negeri diperkenalkan, undang-undang ditulis dan kekuasaan mutlak kaisar disahkan.
Pangeran Naka no Oe menjadi Kaisar Tenji dan Kamatari diangkat menjadi menteri senior dan diberi nama marga Fujiwara. Ini adalah sejarah awal dari klan paling berkuasa di kekaisaran Jepang yang akan memonopoli pemerintahan pada Periode Heian (794-1185 Masehi).
Peristiwa Jinshin tahun 671-672 Masehi adalah konflik internal yang pendek namun menjadi sejarah berdarah antara kelas penguasa yang memperdebatkan masalah penerus setelah kematian Kaisar Tenji.
Pada akhirnya, kaisar baru, Kaisar Temmu (memerintah 672-686 Masehi) mengambil kesempatan untuk memangkas keluarga besar kerajaan agar hanya keturunannya dan keturunan istrinya, Jito saja yang bisa mengklaim hak takhta kekaisaran Jepang.
Pada tahun 685 Masehi, Kaisar Temmu juga mengangkat para pengikutnya sendiri untuk menduduki posisi kunci dalam birokrasi negara; menciptakan tentara wajib militer dan melarang warga membawa senjata. Fujiwarakyo dipilih sebagai ibu kota Jepang yang pertama yang memiliki istana bergaya Tiongkok dan jalanan dengan pola kisi-kisi teratur.
Sistem mata uang di Jepang yang pertama kali waido kaiho, diperkenalkan pada bagian paling akhir periode ini di tahun 708 Masehi.
Hubungan dengan Tiongkok dan Korea
Pada Periode Asuka hubungan budaya yang signifikan dipelihara dengan kerajaan Baekje di Korea, hubungan dengan semenanjung Korea sudah dibuat sejak abad ke-4 Masehi, terutama dengan konfederasi Gaya di Korea. Kebudayaan Baekje yang maju didatangkan dengan mengundang guru, sarjana dan seniman yang melancong ke Jepang
Elemen-elemen budaya kekaisaran Tiongkok turut masuk bersama mereka seperti teks-teks Konfusianisme klasik dan juga elemen-elemen budaya Korea, sebagai contoh, seperti yang terlihat pada bangunan-bangunan kayu yang dibangun oleh arsitek Korea.
Hubungan yang sebenarnya antara Korea dan Jepang pada periode ini kontroversial, namun sepertinya pejabat-pejabat Baekje menduduki posisi penting dari pemerintahan Yamato dan kemungkinan bercampur dalam garis kerajaan, terutama dalam klan Soga.
Pangeran Shotoku memperkenalkan Tujuh Belas Pasal Konstitusi (Jushichijo-kenpo) berisi tentang sentralisasi pemerintahan dan menekankan prinsip-prinsip Buddhisme dan Konfusianisme, terutama pentingnya harmoni.
Agama Budha secara resmi diperkenalkan di Jepang pada abad ini. Pangeran Shotoku membangun beberapa kuil Buddha pertama di Jepang. Pangeran Shotoku dianggap mampu mengintegrasikan pembentukan agama Buddha Jepang.
Buddhisme secara resmi sudah diadopsi oleh Kaisar Yomei dan didukung lebih lanjut oleh Pangeran Shotoku yang membangun beberapa kuil, membentuk sebuah lembaga seniman untuk menciptakan gambaran Buddhis, dan ia sendiri adalah penganut ajaran Buddha.
Secara umum Buddhisme disambut baik oleh kaum elit Jepang karena membantu menaikkan status budaya Jepang sebagai negara maju di mata para tetangga yang kuat, Korea dan Tiongkok. Pangeran Shotoku juga mengirim duta besar resmi kepada kerajaan Sui di Tiongkok sekitar tahun 607 Masehi dan selama abad ke-7 Masehi.
Hubungan Jepang dengan para tetangga tidak selalu bersahabat. Kerajaan Silla, saingan lama Kerajaan Baekje di semenanjung Korea, akhirnya mengalahkan tetangganya pada tahun 660 Masehi. Mereka mendapat bantuan dari kekuatan angkatan laut Tiongkok yang besar.
Pemberontak Baekje membujuk Jepang untuk mengirimkan 800 kapal di bawah perintah Abe no Hirafu untuk membantu usaha mereka memperoleh kembali kekuasaan. Kesuksesan Persatuan Kerajaan Silla menghasilkan gelombang imigran yang masuk ke Jepang dari kerajaan Baekje dan Goguryeo yang jatuh.
Seni dan Arsitektur
Seni berkembang pesat pada Periode Asuka dan memunculkan nama alternatif, Periode Suiko (552-645 Masehi), sesuai dengan Ratu Suiko (memerintah 592-628 Masehi). Kesusastraan dan musik yang mengikuti gaya Tiongkok dengan aktif dipromosikan oleh istana dan seniman dibebaskan dari pajak.
Pematung menghasilkan patung-patung Buddha dari kayu dan perunggu berlapis emas dalam jumlah besar. Puisi-puisi digubah dan bisa ditemukan dalam Manyoshu atau ‘Kumpulan 10.000 Daun’, yang dikompilasikan sekitar tahun 760 Masehi, yang membuatnya sebagai antologi puisi paling awal dalam kesusastraan Jepang.
Source | : | World History,Britannica |
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR