Nationalgeographic.co.id - Budaya minum kopi yang semakin menjadi tren di kalangan masyarakat Indonesia membuat komoditas tersebut populer. Buktinya, menurut data International Coffee Organization, pada 2020 hingga 2021, konsumsi biji kopi di seluruh Indonesia mencapai 300 juta kilogram.
Pencinta kopi pun semakin berani mengeksplorasi cita rasa biji-biji kopi khas Nusantara. Kini kopi Nusantara semakin familiar di kalangan penikmat kopi. Bahkan, di beberapa roastery atau pusat penyangraian kopi, permintaan biji kopi lokal semakin mendominasi.
Tingginya permintaan tak hanya untuk biji kopi khas Nusantara yang tumbuh di Pulau Jawa, tetapi juga pulau lain di Indonesia. Misalnya saja, Sulawesi.
Baca Juga: Memperkenalkan Investasi Berbasis Alam Lewat Festival Lestari V
Berkunjung ke pulau tersebut, khususnya ke Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, penikmat kopi dapat menemukan kopi berjenis arabika dan robusta yang unik. Salah satunya kopi yang tumbuh di Pipikoro.
Sebagai informasi, Pipikoro merupakan salah satu kecamatan penghasil kopi di kabupaten yang merupakan anggota dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) tersebut. Kecamatan lainnya ada Kulawi, Palolo, dan Tompu.
Di Pipikoro, para penikmat kopi dapat menikmati senja ditemani kopi khas Kabupaten Sigi yang perkebunannya berada di kawasan hutan.
Terinspirasi dari kekayaan kopi Pipikoro dari kecamatan tersebut, Harri Ramdhani mendirikan Pipikoro Coffee and Roastery.
Pria yang akrab disapa Obhy tersebut mengatakan, biji-biji kopi yang ada di kafenya bukan kopi sembarangan. Biji kopi diantar langsung dari kebun oleh para petani kopi. Meski mengusung nama Kopi Pipikoro, kafe yang ia kelola juga menerima biji kopi dari Kulawi, Palolo, dan Tompu.
Para petani memilih dan memetik buah kopi secara manual. Buah kopi kemudian diolah secara mandiri oleh para petani hingga berbentuk biji.
“Biji kopi kami selalu diambil dari petani langsung. Untuk quality control sendiri, kami selalu memakai biji kopi yang masih hijau,” ungkap Obhy.
Ada alasan mengapa biji kopi yang diambil harus yang berwarna hijau. Menurut Obhy setelah disangrai, biji kopi akan berwarna lebih seragam dan aromanya lebih khas.
Namun, diakui Obhy, memperoleh biji kopi yang masih dalam keadaan hijau tidak mudah. Hal tersebut, menurut Obhy, mempengaruhi konsistensi cita rasa kopi.
“Terkadang ada petani yang membawa biji, dikatakan dipetik dalam keadaan hijau. Namun, setelah disangrai warnanya pucat atau gosong,” ucapnya.
Oleh karena itu, Obhy yang juga ketua KADIN Kabupaten Sigi tertantang untuk turun ke “lapangan”. Bersama dua rekannya, ia mengunjungi perkebunan kopi satu per satu dan melakukan pendekatan kepada petani.
Selain mencari biji kopi terbaik, sehingga Kabupaten Sigi punya produk berbasis alam yang bersaing di pasaran, ia melakukan hal tersebut untuk membantu petani memperbaiki kualitas kopi yang ditanam.
“Di sana, kami mengajak para petani untuk bersama-sama memperbaiki kualitas kopi. Salah satunya dengan cara pancingan. Kalau hasil panen mereka bagus, kami siap membayar lebih mahal,” tutur Obhy.
Gayung bersambut, para petani kopi ikut menyambut baik tawaran Obhy. Seiring berjalannya waktu, para petani mulai berhasil membudidayakan biji kopi yang lebih berkualitas.
Tak hanya itu, para petani juga dengan sukarela mengantar hasil panen mereka ke kafe Pipikoro. Obhy membeli biji-biji kopi tersebut dengan harga yang layak.
“Para petani biasanya sore hari datang untuk mengantar biji kopi. Dengan memberi harga jual yang layak, petani bisa hidup lebih sejahtera,” katanya.
Saat ini, Pipikoro Coffee And Roastery telah memiliki 15 pelanggan tetap yang berasal dari berbagai kafe di Palu. Dalam sehari, Pipikoro Coffee sanggup memproduksi 20-30 kg biji dan kopi.
“Kami juga menerima pesanan perorangan. Cukup datang ke kafe, produk yang diinginkan bisa segera kami sediakan,” lanjutnya.
Tak hanya memasarkan di wilayah Sigi dan Palu, Obhy juga mulai merambah bisnis online sebagai media pemasaran. Biji dan bubuk kopi yang sudah diolah biasanya dipasarkan mulai dari Rp 90 ribu - Rp 190 ribu per kilogram.
Baca Juga: Kenapa Banyak Orang Kecanduan Minum Kopi, padahal Rasanya Pahit?
Memajukan komoditas kopi Sigi yang berbasis alam
Meski usahanya terbilang laris manis, Obhy mengaku masih memiliki banyak ambisi. Salah satunya, mengembangkan nama kopi Sigi agar bisa dikenal secara luas maupun mendunia.
“Harapannya, kami ingin membuat kopi Sigi lebih dikenal dan diakui oleh banyak pihak. Dengan begitu, seluruh petani kopi juga bisa memiliki hidup yang layak untuk keluarga mereka,” ujarnya.
Tak hanya itu, kebun kopi di Pipikoro sebenarnya juga memiliki nilai ekologis. Kopi mulai ditanam di Pipikoro, Kulawi, Palolo, dan Tompu pada zaman kolonial. Namun, masyarakat meninggalkan praktik perkebunan kopi karena lebih tertarik mengembangkan komoditas kakao.
Kebangkitan perkebunan kopi di Pipikoro dan sekitarnya baru terjadi beberapa tahun terakhir dan dampaknya pada lingkungan cukup nyata. Seperti pohon kakao, tanaman kopi juga memiliki akar tunggang yang kuat mencengkram tanah sehingga dapat menahan erosi.
Tanaman kopi juga bisa diselingi dengan tanaman lain seperti legum dan dadap. Guguran daun tanaman selingan itulah yang menjadi kompos alami penyubur tanaman kopi.
Para petani pun masih memegang kearifan lokal untuk tidak menanam kopi di ketinggian tertentu karena dapat mengganggu sumber air. Tentunya, selain kualitas dan cita rasa, praktik perkebunan seperti ini akan menjadi nilai lebih kopi khas Sigi.
Dari cerita Pipikoro Coffee dan Obhy kita dapat melihat potensi hilirisasi produk berbasis alam. Asalkan daya dukung lingkungannya terjaga dengan baik, alam akan memberikan manfaat kembali kepada kita dalam bentuk komoditas yang berkualitas. Seperti Kopi Pipikoro ini.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR