Penjagaan ketat dilakukan sepanjang Mangkunegaran dan keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Hal ini berhasil tatkala para penjaga mengetahui dan menggagalkan aksi pemuda yang hendak membakar warung makan di sekitar alun-alun utara.
Selepas bulan September, agaknya kekacauan belum berakhir. Pada sore hari tanggal 4 Oktober 1923, terjadi kepanikan di gedung Wayang Orang Sriwedari yang dikelola van her Röneker, karena ditemukan adanya kebakaran.
Setelah sempat mereda beberapa minggu, serangan kembali terjadi. Upaya pembakaran dilakukan oleh oknum setengah dua belas malam menjelang dini hari pada tanggal 13 Oktober. Telah ditemukan kebakaran di tempat penyimpanan gamelan sekaten.
Lain di tempat penyimpanan gamelan, sehari sebelumnya—pada 12 Oktober—ditemukan percobaan pembakaran di gudang rel dan Pekerjaan di Stasiun Balapan. Setelahnya, menjelang malam sekaten, sebuah hektograf disebar.
Hektograf yang berisi ancaman kepada para pengunjung sekaten, membuat kepanikan. Hektograf itu berbunyi: "peringatan untuk para pengunjung sekaten, yang mencintai hidup mereka... (peringatan bahaya)."
Melalui hektograf mengancam itu, menjadi satu bukti adanya tindak radikalisme yang sudah terjadi dalam sejarah komunis di Surakarta.
Sore hari tanggal 18 Oktober 1923, sebuah bom dijatuhkan di sekitar alun-alun utara di dekat mobil menantu sunan (sultan). Seorang pria desa, yang pada awalnya dikira sebagai pelaku, terluka di bagian tumit segera dibekuk. Namun, ia bukanlah pelakunya.
Akibat pelaku masih terus berkeliaran, pada malam 18 Oktober 1923, Pangeran Adipati Arya X mendengar ledakan keras di luar gedung Astana Mangkunegaran. Dari hasil investigasi ditemukan batu yang diduga bom telah dijatuhkan.
Beberapa hari menjelang, di sore hari tanggal 20 Oktober, sebuah bom yang serupa dijatuhkan di Mangkunegaran, dilempar ke mobil Pakubuwana X. Beruntung, bom itu tidak meledak.
Setelah sejumlah serangan, pasukan khusus dan detektif mulai dikerahkan. Sayangnya, serangan komunis itu berlanjut pada malam hari tanggal 23 Oktober 1923. Kobaran api hampir membakar rumah onderdistriktshoofd—setara camat—Pasar Kliwon. Api akhirnya secara cepat dipadamkan.
Upaya penangkapan akhirnya berhasil dilakukan. Pada 7 November, upaya pembakaran sejumlah pemuda misterius akhirnya bisa digagalkan oleh salah satu detektif di daerah Pajang.
Lalu, pada tanggal 8 November 1923, diduga menjadi serangan terakhir dalam ruang publik masyarakat Solo. Setelahnya, satu kali lagi serangan tercatat dalam jejak sejarah komunis di Surakarta, ketika saudagar batik di Laweyan jadi targetnya.
Ditemukan pembakaran di gudang Wirjoatmodjo, seorang konglomerat dan saudagar batik di Laweyan yang merugi. Namun, selepas kejadian ini, tidak tercatat lagi sejumlah kericuhan sampai ditutupnya berita pada Desember 1923.
Menariknya, meski beberapa 'geng' sudah dapat dibekap kepolisian, masih terjadi penyerangan lagi sebelum akhirnya mereda begitu saja. Hingga sumber koran Belanda terakhir diterbitkan, sudah tidak ditemukan lagi aksi meresahkan oknum komunis.
Meski sempat mereda begitu saja, masih belum diketahui secara jelas motif apa yang menjadi motor dari serangkaian serangan tak bertuan. Hal itu menjadi bukti radikalisme sejarah komunis di Surakarta.
Source | : | Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij (31 Desember 1923) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR