Nationalgeographic.co.id—Makhluk mitologi unicorn adalah salah satu cerita rakyat dan legenda paling terkenal di seluruh dunia. Bahkan unicorn dijadikan lambang negara Skotlandia sejak Raja William mengenakan lambang itu pada abad ke-12.
Bagi banyak orang, tidak sulit membayangkan makhluk mitologi unicorn karena banyak diadopsi dalam budaya populer dan kisah-kisah fiksi ilmiah. Unicorn dikenal dengan wujud kuda yang bertanduk spiral di dahinya.
Tapi dari mana sebenarnya mitologi unicorn ini berasal?
Menurut Museum St Neots di Inggris, citra seperti unicorn, mungkin berasal dari Peradaban Lembah Indus (sekitar 3300 SM hingga 1300 SM) di Asia Selatan.
Peradaban tersebut terdapat di wilayah yang mencakup bagian dari Afghanistan modern, Pakistan, dan India.
Profil samping yang tampak seperti kuda dengan satu tanduk muncul di dahi, berasal dari periode itu. Namun, gambar-gambar ini kemungkinan besar menggambarkan aurochs (Bos primigenius), seekor lembu liar yang sekarang sudah punah, .
Sementara itu, deskripsi tertulis dari Tiongkok tentang unicorn Asia berasal dari sekitar 2700 SM, menurut American Museum of Natural History di New York.
Makhluk mitologi unicorn ini tampaknya merupakan kombinasi dari berbagai hewan dan memiliki tubuh rusa, ekor lembu, mantel seperti naga warna-warni atau bersisik, dan tanduk (atau tanduk) yang tertutup daging.
Terlepas dari perbedaan fisik, unicorn dalam cerita rakyat Asia digambarkan sebagai makhluk mitologi yang menghindari kehidupan dan menyendiri, seperti yang ada dalam catatan Eropa selanjutnya.
Penyebutan unicorn pertama yang tercatat dalam literatur Barat muncul pada abad keempat SM.
Ctesias, seorang dokter dan sejarawan, menulis cerita dari para pelancong India dan menggambarkan "keledai liar" seukuran kuda dengan tubuh putih, mata biru, kepala merah, dan tanduk warna-warni sepanjang sekitar 1,5 kaki atau sekitar 0,5 meter, Time melaporkan pada 2008.
Unicorn Ctesias kemungkinan besar didasarkan pada deskripsi beberapa hewan seperti keledai liar dan badak India (Rhinoceros unicornis).
Source | : | Live Science,European Journal of Archaeology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR