Untuk penelitian tersebut, para peneliti menggunakan kombinasi teknik geotermal untuk memperkirakan suhu tubuh hiu raksasa berdasarkan komposisi berbagai isotop, atau versi elemen, dalam fosil gigi megalodon.
"Suhu di mana mineral terbentuk, termasuk jaringan keras yang termineralisasi secara biologis seperti gigi, dapat diekstrapolasi dari sejauh mana isotop ini telah terikat atau 'menggumpal' menjadi satu," kata rekan penulis studi Kenshu Shimada, kepada Live Science melalui email.
Shimada adalah seorang profesor paleobiology di the College of Science and Health at DePaul University di Chicago.
“Teknik geokimia yang digunakan sebelumnya digunakan untuk meneliti dinosaurus berdarah panas. Studi baru menunjukkan bahwa metode ini juga dapat diterapkan pada vertebrata laut seperti hiu menggunakan komponen anatomi yang keras dan termineralisasi dengan baik seperti gigi.”
Studi tersebut menemukan bahwa suhu tubuh rata-rata megalodon adalah sekitar 80 derajat Fahrenheit atau sektiar 27 derajat Celcius.
Sedangkan hiu modern dengan endotermi regional memiliki suhu tubuh rata-rata antara 72 F hingga 80 F atau sekitar 22 C hingga 26,6 C, menurut hasil penelitian itu.
Menurut tim peneliti, suhu tubuh megalodon yang meningkat akan memberikan banyak manfaat.
"Berdarah panas menguntungkan karena memungkinkan hewan untuk memiliki gaya hidup yang lebih aktif, seperti mampu berenang jarak jauh atau berenang cepat," kata Shimada.
"Hiu berdarah panas masa kini, seperti mako dan hiu putih besar, tidak hanya mampu berenang cepat dibandingkan dengan rekan mereka yang berdarah dingin, tetapi panas metabolisme mereka yang tinggi dari hiu berdarah panas juga memfasilitasi pencernaan makanan."
Namun, berdarah panas juga memiliki kelemahan dan bahkan mungkin menyebabkan, sebagian, kepunahan megalodon.
"Waktu hilangnya megalodon dalam catatan fosil sesuai dengan pendinginan iklim Bumi," kata Shimada. "Berdarah panas pasti memberikan 'keunggulan ekstra' bagi megalodon untuk dapat bertahan hidup di perairan yang dingin.
Source | : | Live Science,PNAS |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR