Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa budidaya rumput laut di Indonesia bisa membantu mengatasi kerawanan pangan global. Studi ini menyoroti pentingnya semua budidaya rumput laut di dunia, terutama di kawasan pesisir Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pengerjaan studi ini pimpin oleh para peneliti dari Friedman School of Nutrition Science and Policy di Tufts University. Makalah studi mereka ini menyarankan bahwa untuk membantu mengatasi kelaparan dan malnutrisi sambil juga memperlambat perubahan iklim, beberapa petani dapat beralih dari darat ke laut.
Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa pemproduksi dan menjual rumput laut bisa meningkatkan pendapatan petani di negara berpenghasilan rendah dan menengah (ow- and middle-income countries/LMICs). Khususnya di wilayah pesisir Afrika dan Asia Tenggara, kata Patrick Webb, Alexander McFarlane Professor of Nutrition di Friedman School yang juga menjadi salah satu penulis makalah ini.
Penulis lainnya adalah Natalie Somers, dan Shakuntala Thilsted, yang bekerja untuk Consultative Group on International Agriculture Research dan memenangkan World Food Prize 2021 untuk penelitian dan inovasi dalam akuakultur dan sistem pangan.
Dalam studi ini, tim peneliti tersebut meninjau sejumlah makalah penelitian, database yang ada, laporan Kelompok Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan banyak lagi.
Mereka menemukan bahwa sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan ketimbang memelihara ternak, budidaya rumput laut tidak memerlukan tanah, air tawar, atau pupuk kimia, dan dapat menjadi sangat menguntungkan. Sebab, permintaan akan produk rumput laut yang kaya nutrisi tumbuh di seluruh dunia, demikian temuan studi tersebut.
Keuntungan tersebut akan berarti lebih banyak daya beli bagi rumah tangga dan komunitas yang memproduksi, memproses, mengemas, dan mengekspor mikroalga. Hal ini gilirannya akan menghasilkan pola makan yang lebih sehat.
"Salah satu masalah kerawanan pangan terbesar di LMICs adalah tidak terjangkaunya pola makan sehat," kata Webb, yang juga menjabat sebagai direktur Food Systems for Nutrition Innovation Lab di Tufts, seperti dikutip dari rilis Tufts University.
“Ada sekitar 3,5 miliar orang di dunia yang tidak mampu membeli makanan sehat meskipun mereka memilih makanan lokal dengan harga lokal. Bagi banyak dari orang-orang tersebut, membudidayakan dan menjual rumput laut akan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan nutrisi yang lebih baik melalui pembelian di pasar."
Mudah dan ramah lingkungan
Sebagai tanaman yang ramah bagi petani dan lingkungan, rumput laut telah ditanam di beberapa bagian Asia selama berabad-abad. Mereka menanamnya dengan menggunakan teknik yang cukup sederhana, menurut hasil penelitian yang telah terbit di jurnal Global Food Security itu.
Untuk memulainya, para petani menempelkan tali panjang ke akar alga, yang menyuburkan tanaman dengan menyerap nutrisi dari air. Enam hingga delapan minggu kemudian, mereka mengumpulkan rumput laut dengan tangan dan menjemurnya di bawah sinar matahari.
"Banyak hal yang kami lihat di sisi pertanian bukanlah tentang menemukan tanaman baru atau jenis tanaman yang berbeda. Ini tentang apa yang sudah ditanam yang dapat ditingkatkan dengan biaya yang efektif," kata Webb.
Selain relatif mudah tumbuh, rumput laut memiliki jejak karbon yang sangat kecil. Bahkan rumput laut dapat membantu menurunkan tingkat karbon di lautan.
Meskipun sedikit yang diketahui tentang berapa banyak CO2 yang dilepaskan rumput laut selama panen, penelitian telah menemukan bahwa peternakan ganggang cokelat abadi menyerap hingga sepuluh ton CO2 per hektare permukaan laut per tahun.
Selain bisa menyerap karbon, rumput laut dapat membantu mengurangi emisi gas metana secara dramatis ketika ditambahkan ke pakan ternak.
"Kecuali kita mendapatkan pemanasan laut yang signifikan, membudidayakan rumput laut menawarkan cara yang tidak hanya ramah iklim, tetapi juga merupakan bukti iklim," kata Webb.
“Kita tidak tahu seberapa cepat industri akan mulai merasakan dampak negatif dari perubahan iklim, tetapi potensinya terlihat bagus. Dengan membudidayakan rumput laut, hal itu tidak akan mempercepat dampak negatif tersebut, sedangkan menebang pohon dan menambah lebih banyak ternak pasti akan mempercepatnya."
Tantangan produksi dan pengolahan
Industri budidaya rumput laut kini berkembang pesat di Indonesia, tempat tenaga kerja musiman selalu tersedia dan pertanian dapat mencapai skala ekonomi tingkat industri (berbeda dengan pertanian keluarga, misalnya di India dan Tanzania).
Indonesia sekarang adalah pengekspor utama dua spesies rumput laut dari mana karagenan, pengental yang ditemukan dalam susu kacang dan daging, diekstraksi.
"Ada banyak jenis rumput laut yang berbeda, dan mereka semua membutuhkan lingkungan yang berbeda untuk tumbuh. Pantai Afrika dan Asia yang luas, tidak semuanya akan menjadi real estate utama," kata Webb. "Tapi sebagian besar akan begitu."
Agar budidaya rumput laut berkembang di tempat-tempat ini, pemerintah harus menganggapnya serius dan membuat peraturan keamanan pangan dan lingkungan keseluruhan di mana hal itu bisa terjadi, kata Webb. Minat investasi lokal dan internasional juga akan menjadi kunci.
"Jika tidak terjadi besok, dengan kondisi yang tepat, itu bisa terjadi lusa," kata Webb optimistis.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Tufts University |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR