Nationalgeographic.co.id—Burakumin adalah kaum hina dina yang tersingkir di Kekaisaran Jepang. Kelompok ini sering dibandingkan dengan dalit di India. Siapa mereka, bagaimana sejarahnya, dan seperti apa kehidupan mereka di Kekaisaran Jepang modern?
Burakumin, kaum hina dina di Kekaisaran Jepang
Burakumin, diterjemahkan menjadi orang dusun atau orang desa, adalah komunitas yang tersembunyi dan tersingkir. Mereka ditempatkan di bagian bawah masyarakat Kekaisaran Jepang.
Mengutip dari laman It’s Your Japan, “Burakumin sering menghadapi stigma sosial yang keras.” Selama bertahun-tahun, mereka menjadi korban diskriminasi.
Selama era feodal di Kekaisaran Jepang, burakumin adalah kelompok orang buangan dari kelas sosial. Di masa itu, mereka melakukan pekerjaan yang tidak akan dilakukan oleh siapa pun di masyarakat. Misalnya sebagai algojo atau tukang daging.
Profesi tersebut dianggap najis karena berhubungan dengan kematian. Oleh karena itu, stigma kegare (pencemaran) melekat pada burakumin.
Sistem kasta dihapuskan pada tahun 1871 selama Restorasi Meiji bersamaan dengan sistem feodal. Namun ironisnya, burakumin masih merasa sulit untuk berintegrasi sepenuhnya ke dalam masyarakat di Kekaisaran Jepang.
Komunitas burakumin masih ada di seluruh Kekaisaran Jepang. Bagi orang asing, burakumin mungkin sulit untuk dibedakan. Nyatanya, tidak ada perbedaan genetik antara burakumin dan orang Jepang pada umumnya.
Bagaimana mereka hidup di Kekaisaran Jepang?
Karena stigma yang melekat pada mereka, burakumin dipandang rendah di setiap aspek masyarakat. Entah itu di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadinya. Keturunan burakumin dipandang sebagai aib atau bahkan tidak cocok untuk menikah.
Ketika silsilah keluarganya terungkap, burakumin mungkin mengalami diskriminasi. Dalam keadaan ekstrim, mereka mungkin menerima hal-hal seperti surat kebencian.
Mencari pekerjaan mungkin juga sulit karena pemberi kerja akan menyaring pelamar secara menyeluruh. Tapi stigma ini tidak hanya berlaku bagi burakumin tetapi bahkan orang-orang yang memiliki hubungan apa pun dengan mereka.
Orang luar ragu-ragu untuk bergerak di dekat tempat tinggal burakumin di Jepang, khususnya di wilayah Kansai. Pasalnya, mereka takut akan dikira sebagai burakumin.
Tetapi karena terus tersingkir, sebagian besar burakumin tidak dapat naik tangga sosial. Mereka bahkan tidak memiliki kesempatan untuk berintegrasi ke dalam masyarakat modern di Kekaisaran Jepang. Hal ini disebabkan karena segregasi dan stigma bertahun-tahun yang tidak dapat dihapus dengan mudah.
Komunitas mereka semakin terpecah dan terpisah. Pada akhirnya, sebagian burakumin terlibat dalam kejahatan terorganisir. Tindakan mereka itu menjadi bumerang yang memicu lebih banyak ketakutan pada kelompok ini.
Burakumin di era modern di Kekaisaran Jepang
Burakumin menemukan sekutu yang tidak terduga dengan yakuza, mafia di Kekaisaran Jepang. Diyakini bahwa hampir tiga perempat dari Yamaguchi-gumi, geng yakuza terbesar, adalah burakumin.
Fakta itu diungkap oleh Alec Dubro dan David Caplan di buku Yakuza: The Explosive Account of Japan’s Criminal Underworld. Yakuza menghargai disiplin dan keluarga. Bergabung dengan yakuza membuat burakumin punya identitas dan rasa memiliki.
Selama bertahun-tahun, muncul kelompok pro-burakumin. Pada tahun 1922, Suiheisha atau Asosiasi Penyamarataan Jepang dibentuk. Grup ini bertahan hingga tahun 1930-an. Setelah perang, 'Komite Nasional untuk Pembebasan Burakumin' pun dibentuk.
Mereka bekerja dengan kelompok sosialis dan komunis untuk mendapatkan bantuan keuangan bagi keluarga yang terlantar dan terpinggirkan.
Komite tersebut pun membuat aturan bahwa ilegal bagi perusahaan untuk mencari detail daftar keluarga. Hal ini sering terjadi saat burakumin disaring saat melamar pekerjaan.
Pada 1980-an, pemerintah menerapkan rencana untuk memberikan pendidikan kepada kelompok burakumin. Harapan pemerintah Jepang adalah pendidikan memungkinkan mereka untuk memulai hidup yang baru.
Upaya lain telah dilakukan termasuk memperkenalkan kebijakan untuk meningkatkan infrastruktur dan lebih banyak peluang ekonomi. Namun, burakumin masih percaya bahwa pemerintah menolak untuk menangani diskriminasi yang mereka hadapi secara terbuka. Pasalnya, masih banyak burakumin yang menghadapi stigma sosial dan mengalami kekerasan.
Pada tahun 1975, buku yang berisi nama, pekerjaan, dan alamat buraku diedarkan di Osaka. Meskipun ada upaya keras untuk menghentikan publikasi, banyak informasi masih tersedia secara daring. Dan pada 2015, surat kebencian dikirim ke keluarga burakumin di Osaka, Kobe, dan Kyoto.
Sementara kemajuan telah dicapai selama bertahun-tahun, saat ini banyak burakumin masih menghadapi diskriminasi. Terutama dalam pernikahan dan pekerjaan. Mereka yang dibesarkan di permukiman burakumin mencoba keluar untuk menghindari stigma.
Pada tahun 2016, sebuah undang-undang disahkan oleh pemerintah untuk mengekang bias terhadap burakumin. Namun, banyak yang menganggap bahwa undang-undang tersebut tidak bergigi karena tidak mencegah diskriminasi. Implementasinya gagal dan mereka yang tidak mengikuti tidak akan menerima denda atau hukuman.
“Ada sekitar 6.000 komunitas burakumin yang terpisah dengan populasi total yang diperkirakan antara 1.000.000 dan 3.000.000,” ungkap Lotha.
Banyak tekanan yang diberikan kepada generasi muda burakumin untuk keluar dari lingkaran stigma dan diskriminasi. Kelompok ini adalah suara yang perlu didengar untuk mengoreksi kesalahpahaman tentang burakumin.
Source | : | Britannica |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR