Orang Jepang menganggap tidak etis meminta pertanggungjawaban orang mati. Hal ini bisa berarti bunuh diri dapat menjadi cara untuk membersihkan nama seseorang.
Apakah seppuku benar-benar bisa mencabut nyawa seorang samurai?
Gagasan seppuku sebagai bukti keberanian dan ketahanan seseorang dalam menghadapi rasa sakit juga diragukan. Untuk satu hal, memotong perut saja tidak cukup untuk langsung menyebabkan kematian.
Pada tahun 1160, selama Pemberontakan Heiji, Fujiwara no Michinori melarikan diri setelah kalah. Dia menggali lubang dan membelah perutnya di dalamnya. Namun, saat ditemukan, matanya masih bergerak dan ia bernapas. Alhasil, ia ditawan dan kemudian dieksekusi dengan cara dipenggal.
Menurut penulis Togo Ryu, “Metode bunuh diri ini sangat menyakitkan, tetapi banyak orang yang selamat.” Hal ini menyebabkan penggunaan kaishaku. Kaishaku adalah pemenggalan kepala orang yang melakukan seppuku oleh asisten yang berdiri di belakang. Tujuannya adalah untuk mengakhiri rasa sakit dan penderitaan.
Praktik kaishaku bisa disebut belas kasihan prajurit. Namun, pada zaman Edo, sensubara atau kipas lipat untuk seppuku menjadi umum. Dalam hal ini, samurai memegang kipas untuk melambangkan pedang. Dan sebagai isyarat, asisten masuk untuk memenggal kepalanya.
Praktik ini tidak menunjukkan ketahanan dan ketulusan atau kelegaan akhir dari penderitaan. Kehormatan saja yang dipertahankan. Untuk menyelamatkan mukanya, seorang samurai melakukan pertunjukan bunuh diri secara sukarela.
Meskipun demikian, seseorang tidak boleh mengambil perspektif kontemporer yang hanya sepihak dalam membahas nilai-nilai masa lalu. Orang hanya bisa mengatakan bahwa seppuku pernah dilihat sebagai kematian yang layak bagi seorang samurai. Dan ada kasus di mana laki-laki menyelamatkan nyawa keluarga mereka dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri.
Yamamoto juga menulis bahwa tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa samurai dilahirkan untuk melihat kelangsungan keluarganya.
Mungkin samurai benar-benar mati dengan harapan bahwa dengan mengambil tanggung jawab melalui bunuh diri. Sehingga, keluarga dan penerusnya tidak akan memikul tanggung jawab atas kesalahannya kelak.
Itulah evolusi praktik bunuh diri di kalangan samurai Kekaisaran Jepang sejak pertama dicatat dalam sejarah.
Source | : | nippon.com |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR