Nationalgeographic.co.id—Diskusi Kelompok Terpumpun Sisir Pesisir pada pertengahan Juli lalu diikuti antara lain oleh Frensly Demianus Hukom. Frensly adalah Ketua Kelompok Penelitian Kesehatan Ekosistem Terumbu karang, Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Menanggapi program inisiatif National Geographic Indonesia bertajuk Sisir Pesisir ini, Frensly berkata, "Saya mengucap terima kasih untuk National Geographic Indonesia yang sudah menginisiasi untuk sama-sama kita lihat kondisi pesisir kita."
Berdasarkan pengalamannya, peneliti senior berusia 63 tahun itu bercerita bahwa kegiatan penelitian ekosistem terumbu karang di Indonesia telah dimulai setidaknya sejak tahun 1987. "Tahun 1987 itu saya masih berumur 27 tahun. Jadi kami itu ditraining oleh Australia," tutur Frensly.
Pada tahun 1987, ada kegiatan pelatihan bagi para peneliti kelautan di Indonesia untuk menjalankan program pemantauan pesisir. Kegiatan itu bertajuk Training Asean Australia Marine Science Project.
Lalu pada tahun 1998-2004 adalah kegiatan Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) Fase 1. Kemudian ada COREMAP Fase 2 pada tahun 2004-2012. Lalu ada COREMAP Fase 3 antara tahun 2015-2023.
Jika ditotal kegiatan COREMAP setidaknya telah melakukan pengamatan ekosistem terumbu karang di 40 lokasi. Dengan data terakhir tahun 2021, ada 31 lokasi pengamatan ekosistem terumbu karang di Indonesia.
Hasilnya, ada dua lokasi dengan tutupan karang kategori rendah, yaitu Mentawai dan Lombok Barat. Lalu ada 16 lokasi dengan tutupan karang kategori sedang. Kemudian, ada 13 lokasi dengan tutupan karang kategori tinggi, misalnya Karimun Jawa, Laut Banda, dan Kapoposang.
Yang dimaksud kategori rendah adalah wilayah dengan persentase tutupan karang keras hidup lebih kecil dari 19%. Adapun yang masuk kategori sedang adalah wilayah dengan persentase tutupan karang keras hidup antara 19% sampai 35%. Adapun yang masuk kategori sedang adalah wilayah dengan persentase tutupan karang keras hidup lebih dari 35%.
Frensly menyarankan data-data dari COREMAP ini menjadi baseline atau garis dasar dalam pemilihan titik-titik wilayah untuk program Sisir Pesisir nanti. Dengan adanya data dari COREMAP ini, nantinya kita bisa membuat perbandingan kondisi pesisir hasil pemantauan Sisir Pesisir nanti dengan kondisi pada waktu sebelumnya.
Yang menarik dari kegiatan COREMAP ini, menurut Frensly, adalah upaya melibatkan mayarakat pesisir dalam kegiatan pemantauan dan pelestarian wilayah pesisir ini.
"Jadi COREMAP ini mengubah paradigma dari orang atau masyarakat pesisir yang tadinya mereka tidak mengeri fungsi terumbu karang. Sehingga mereka cenderung untuk bisa lebih mem-protect-nya," ujar Frensly.
Menurut Frensly, untuk program Sisir Pesisir ini, kita perlu menurunkan model penyurveian pesisir yang lebih sederhana agar bisa lebih mudah diikuti oleh masyarakat. Kompleksitas model surveinya sebaiknya berbeda dengan model yang dipakai para peneliti profesional.
Jadi, menurut Frensly, "ketika teman-teman yang punya interest di bidang kajian ilmiah itu tidak ada, masyarakat setempat yang ada di situ bisa melakukan (penyurveian) secara berulang-ulang kali."
Frensly menekankan sangat penting bahwa setelah kegiatan Sisir Pesisir nanti selesai, masyarakat setempat bisa terus melanjutkan program pemantauan terumbu karang di pesisir mereka dan terus menjaga ekosistem tersebut.
"National Geographic Indonesia sebagai media bisa menyuarakan itu. Jadi bagaimana proses itu bisa terus berlanjut," tegas Frensly.
Frensly berharap program Sisir Pesisir ini bisa berjalan lancar dan menjadi suatu kegiatan pemantauan pesisir yang berkelanjutan.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR