Nationalgeographic.co.id—Sejarah Perang Salib keenam tercatat sebagai babak tertunda dari Perang Salib Kelima yang gagal. Kaisar Romawi Suci, Frederick II akhirnya tiba dengan pasukannya di Tanah Suci Yerusalem, seperti yang telah lama dia janjikan.
Setelah rentetan kegagalan dan penyimpangan dalam sejarah Perang Salib, sepertinya Perang Salib keenam menjadi akhir yang memuaskan. Tanah Suci Yerusalem berhasil kembali ke tangan orang Kristen berkat keterampilan diplomasi Frederick II.
Alih-alih menggunakan kekerasan, Frederick II memilih jalur damai. Pada bulan Februari 1229 M sebuah perjanjian disepakati dengan Sultan Mesir dan Suriah, al-Kamil (memerintah 1218-1238 M).
Keintiman Romawi Suci dan Timur Tengah
Meskipun Frederick II tidak menjadi bagian sejarah Perang Salib kelima, ia akhirnya akan menjadi salah satu tokoh besar Abad Pertengahan, menurut sejarawan Thomas Asbridge dalam tulisannya.
Sosok Frederick II sebenarnya tidak ideal. Berperut gendut botak dengan penglihatan buruk, secara fisik Frederick agak tidak menarik.
Namun pada tahun 1220-an, dia adalah penguasa paling kuat di dunia Kristen. Frederick II bukanlah pemimpin yang suka dengan kekerasan, dan ia lebih senang menempuh jalur diplomasi.
Setelah drama dengan Gereja Katolik Roma atas pengangkatannya sebagai Kaisar Romawi Suci, ia juga memperoleh hubungan yang lebih intim dengan Timur Tengah.
Pada bulan November 1225 M, dia menikah dengan Isabella II, pewaris takhta Kerajaan Yerusalem. Setelah itu akan memulai perjalanan ke Levant untuk merebut Kerajaan Yerusalem, bersama dengan tahtanya.
Frederick II di Levant
Pada tanggal 7 September 1228 M, Frederick II tiba di Acre di Timur Tengah. Meski ada banyak masalah dengan Gereja Katolik Roma, ia bertekad untuk melakukan apa yang gagal dilakukan oleh begitu banyak bangsawan sebelum dia.
Dia tentu saja memiliki pasukan terlatih dan punya peralatan lebih baik dari Pasukan Salib sebelumnya. Hampir semua prajuritnya dibayar profesional dan berjumlah sekitar 10.000 infanteri dan mungkin 2.000 ksatria.
Akan tetapi, sepertinya rencana Frederick II sedikit bergeser setelah kematian tragis Isabella saat melahirkan pada Mei 1228 M. Frederick memutuskan untuk memerintah untuk putranya yang baru lahir menggantikan ayah mertuanya John dari Brienne.
John yang telah memimpin pasukan Perang Salib Kelima yang gagal, tidak senang digulingkan dari kekuasaan dan bersumpah akan membalas dendam.
Frederick bukan tanpa oposisi lain di kerajaan Yerusalem. Ada banyak bangsawan juga menolak perubahan status quo politik.
Rencana Frederick untuk mendistribusikan kembali tanah warisan tertentu, serta promosi atas tatanan militer Ksatria Teutonik merupakan poin penting.
Frederick dan pasukannya berbaris dari Acre ke Jaffa pada awal 1229 M. Mereka menimbulkan ancaman yang telah dijanjikan sejak Perang Salib Kelima. Pada saat yang sama, al-Kamil menghadapi saingain di dalam koalisinya yang berbahaya di Dinasti Ayyubiyah.
Dalam dua tahun terakhir, saudara laki-laki Sultan sendiri, al-Mu'azzam (emir Damaskus) telah bergabung dengan tentara bayaran Turki yang ganas, Khawarizm. Mereka mengancam wilayah al-Kamil di Irak utara.
Al-Mu'azzam meninggal karena disentri pada tahun 1227 M. Akan tetapi ancaman dari para pengikutnya, terutama terhadap ambisi al-Kamil di Damaskus al-Nasir Dawud, tetap ada.
Damaskus saat ini dipimpin oleh keponakan pemberontak al-Kamil. Akibatnya, kedua pemimpin memilih jalur diplomasi. Mereka ingin menghindari perang yang akan sangat merusak kepentingan komersial kedua belah pihak di wilayah tersebut.
Sementara itu, Frederick II terbantu dalam upaya diplomatiknya dengan pengetahuannya tentang bahasa Arab dan pemahamannya terhadap budaya. Kaisar Romawi Suci ini bahkan memiliki korps pengawal Muslim pribadinya sendiri dan juga harem.
Di sisi lain, Al-Kamil telah menawarkan Yerusalem sebagai alat tawar-menawar selama negosiasi dengan Pasukan Salib kelima. Jika perlu, dia selalu dapat merebut kembali Yerusalem setelah Pasukan Salib berangkat kembali ke Eropa.
Tampaknya kedua pemimpin itu sangat ingin melindungi kerajaan mereka sendiri. Terutama aset mereka yang jauh lebih penting di tempat lain daripada pertengkaran atas Tanah Suci Yerusalem.
Pada saat yang sama, setiap keuntungan dapat dimaksimalkan dan konsesi diminimalkan saat menyajikan kesepakatan kepada setiap pengikut pemimpin.
Pada tanggal 18 Februari 1229 M, Perjanjian Jaffa ditandatangani antara kedua pemimpin. Perjanjian itu mengizinkan orang Kristen menduduki kembali tempat-tempat suci Yerusalem, kecuali kawasan Kuil yang tetap berada di bawah kendali otoritas keagamaan Muslim.
Penduduk Muslim harus meninggalkan kota, tetapi dapat mengunjungi tempat-tempat suci untuk berziarah. Di bawah ketentuan perjanjian yang terperinci.
Tidak ada konstruksi baru atau bahkan penambahan artistik yang diizinkan di tempat-tempat suci tersebut. Juga tidak ada benteng yang dapat dibangun, walaupun nantinya akan diperdebatkan bahwa ini berlaku untuk Yerusalem.
Perjanjian itu mengatur situs penting lainnya yang sangat penting bagi orang Kristen seperti Bethlehem dan Nazareth.
Sebagai imbalan atas perjanjian itu, Sultan mendapat jaminan gencatan senjata 10 tahun. Frederick II juga berjanji akan membela kepentingan al-Kamil dari semua musuh, bahkan ancaman dari Gereja Katolik Roma.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR