Nationalgeographic.co.id—“Konsep alien sudah cukup tua,” tulis Tim Brinkhof, pada laman Big Think. “Jauh sebelum peradaban manusia mengembangkan pemahaman yang akurat secara ilmiah tentang kosmos, orang-orang di seluruh dunia melihat ke langit dan bertanya-tanya apa yang ada di luar sana.”
Melalui berbagai literatur maupun karya seni kuno, kita dapat melihat beberapa upaya masyarakat kuno untuk memahami alam semesta ini. Mereka mengisi bentangan alam semesta yang luas dan misterius ini dengan para dewa, sebagai entitas yang bertanggung jawab sebagai pencipta matahari, bulan, dan bintang-bintang.
Sebagian lagi menganggap benda-benda langit memiliki kesamaan dengan Bumi, dan karena itu dihuni oleh organisme yang tidak berbeda dengan kita.
Brinkhof menjelaskan, melalui buku “Extraterrestrials” karya Wade Roush, kita dapat menelusuri sejarah spekulasi tentang alien selama hampir dua setengah milenium. Sejarah ini dimulai dari zaman Yunani kuno dan berlanjut hingga ekspedisi penjelajahan Mars yang terbaru.
Sejarah spekulasi tentang alien bukan hanya sejarah ilmu pengetahuan, “tetapi juga sejarah agama dan budaya populer,” tegas Brinkhof
Zaman Yunani Kuno
Di masa lalu, orang sering dianiaya karena berpikir secara berbeda. Hal ini terjadi bahkan di Yunani kuno, tempat yang terkenal dengan para filsuf perintisnya.
Filsuf Anaxagoras merupakan salah satu orang yang dianiaya karena berpikiran melawan arus. Ia berusaha memberikan penjelasan ilmiah untuk menjelaskan fenomena seperti gerhana dan pelangi. Dua hal itu, bagi masyarakat Yunani Kuno adalah fenomena supranatural.
"Bulan bukanlah dewa, melainkan batu besar dan matahari adalah batu yang panas," kata Anaxagoras. Karena pernyataannya, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Anaxagoras akan mengalami nasib yang mirip dengan Socrates, namun pada akhirnya ia dibuang dan bukannya dibunuh berkat permohonan teman-temannya.
Brinkhof menerangkan, Anaxagoras juga mempertimbangkan kemungkinan bahwa bulan mungkin dihuni. Anggapan ini sangat kontroversial dan bertentangan dengan pandangan dominan tentang kosmos yang digariskan oleh Plato serta Aristoteles.
“Plato, yang memisahkan realitas antara bentuk dan bayangan, menolak untuk mengakui keberadaan dunia selain dunia kita,” jelas Brinkhof. Aristoteles juga menampik pandangan tersebut, ia menyatakan “bahwa Bumi adalah satu-satunya pusat alam semesta.”
Pemahaman kita tentang astronomi tidak terletak di pundak Plato dan Aristoteles, tetapi pada orang-orang sezaman mereka yang sering dilupakan.
Anaximander, jelas Brinkhof mencukil pernyataan Roush, "adalah orang pertama yang mengusulkan bahwa Bumi adalah benda yang mengambang di kehampaan tanpa batas, yang tidak ditahan oleh apa pun."
Democritus, yang berangkat dari premis bahwa ada jumlah atom yang tak terbatas, juga berpendapat bahwa pasti juga ada jumlah dunia yang tak terbatas.
Kepercayaan akan keberadaan dunia lain juga dianut oleh sejumlah filsuf, termasuk Epicurus. Ia pernah menulis kepada sejarawan Herodotus, bahwa "ada sejumlah kosmos yang tidak terbatas, dan beberapa di antaranya mirip dengan dunia ini, dan ada pula yang berbeda."
Di Romawi Kuno, meskipun samar, keyakinan adanya dunia lain masih bertahan: Tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang unik dan sendirian. Penyair Romawi Lucretius pernah menulis, "dan oleh karena itu, di wilayah lain pasti ada bumi lain yang dihuni oleh suku-suku manusia yang berbeda dan jenis-jenis binatang."
Revolusi Ilmiah
Meskipun Plato dan Aristoteles hidup di dunia pra-Kristen, gagasan mereka tentang alam semesta membantu membentuk doktrin iman Kristen. Selama Abad Pertengahan, kepercayaan ini menyatakan bahwa Bumi diciptakan oleh Tuhan sebagai pusat alam semesta.
Brinkhof menjelaskan, Kisah Yesus Kristus, yang mengorbankan diri-Nya untuk menghapuskan dosa-dosa manusia, meneguhkan kembali posisi manusia sebagai makhluk yang paling penting di antara semua ciptaan.
“Jika dunia lain ada, mereka tidak mungkin dihuni. Karena jika memang ada, maka secara otomatis hal ini akan mengurangi arti penting penyaliban,” jelas Brinkhof.
Doktrin-doktrin Gereja tidak menghentikan polimatik Polandia, Nicolaus Copernicus, untuk mengajukan gagasan tentang alam semesta. Ia menulis ‘On the Revolution of the Celestial Spheres’, “tapi mereka mencegah untuk menerbitkannya.”
Buku ini, yang tidak diterbitkan hingga kematiannya pada tahun 1543, memetakan sebuah sistem antar planet yang tidak mengelilingi Bumi, melainkan mengelilingi matahari.
Biarawan Dominikan, matematikawan, dan ahli teori kosmologi, Giordano Bruno, tidak menunggu hingga kematiannya untuk membagikan ide-idenya tentang alam semesta.
Dalam tiga dialog yang diterbitkan antara tahun 1584 dan 1591, Bruno berspekulasi bahwa beberapa bintang yang jauh mungkin juga merupakan matahari. Matahari-matahari ini diorbiti oleh planet-planetnya sendiri. Dan yang tak kalah penting, bahwa beberapa planet ini mungkin dihuni oleh kehidupan yang mirip dengan Bumi.
Bruno kemudian ditangkap, dibakar di tiang pancang setelah tujuh tahun dipenjara dan disiksa. Menurut Brinkhof, ia ditangkap bukan karena pandangannya tentang luar angkasa, namun karena “ketertarikan Bruno terhadap sihir dan okultisme mungkin yang menyebabkan dia ditangkap pada tahun 1592.”
Astronom Jerman, Johannes Kepler, hidup dan bekerja dalam situasi yang berbeda. Kepler lahir di Jerman setelah Reformasi Protestan, yang berarti ia dapat menerbitkan penelitiannya tanpa takut akan penganiayaan.
Ia sangat dipengaruhi oleh penemuan bulan-bulan Jupiter oleh Galileo Galilei, yang mengitari planet ini dengan cara sama seperti Bumi mengitari matahari.
"Setiap planet," Kepler menyimpulkan setelah membaca karya Galileo, "dilayani oleh satelit-satelitnya sendiri. Dari penalaran ini, kami menyimpulkan dengan tingkat probabilitas tertinggi bahwa Jupiter berpenghuni."
Era baru ketidakpercayaan
Brinkhof menjelaskan, tidak semua peserta Revolusi Ilmiah percaya akan keberadaan alien. Galileo, seorang penganut Katolik yang taat, menganggap spekulasi tentang alien sebagai "penisataan".
William Whewell, seorang polimatik Inggris, berargumen menentang teori pluralisme-dunia untuk mempertahankan hubungan khusus antara Tuhan dan manusia.
“Uniknya, tesisnya [William Whewell] termotivasi oleh agama, yang diuraikan dalam sebuah buku tahun 1853 berjudul ‘Of the Plurality of Worlds’, terbukti lebih akurat secara ilmiah daripada para astronom kafir yang dikritiknya,” jelas Brinkhof.
Whewell menemukan sekutu dalam diri Alfred Russell Wallace, seorang naturalis Inggris yang turut merumuskan teori evolusi melalui seleksi alam bersama Charles Darwin.
Wallace berpendapat bahwa Bumi hampir pasti merupakan satu-satunya planet berpenghuni di tata surya kita. Bahkan menurut Wallace, jika ada kehidupan lain di alam semesta, maka tidak akan pernah bisa mencapai tingkat kerumitan seperti yang kita temukan di Bumi.
Meskipun Whewell dan Wallace diabaikan oleh orang-orang sezamannya, tulisan mereka menjadi awal dari era baru pesimisme kosmologis.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR