Nationalgeographic.co.id – Perjalanan dari masa kanak-kanak hingga dewasa bagi seorang samurai remaja Kekaisaran Jepang ditandai dengan beberapa ritus peralihan yang penting. Salah satunya adalah upacara genpuku, atau upacara kedewasaan.
Upacara dan ritual ini bukan hanya simbolis. Mereka mewakili tonggak penting dalam kehidupan seorang samurai muda, menandakan tanggung jawab mereka yang semakin besar dan kemajuan dalam perjalanan mereka untuk menjadi seorang samurai sejati Kekaisaran Jepang.
Upacara genpuku biasanya terjadi sekitar usia 13 hingga 16 tahun, dan menandai transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa.
Selama genpuku, para samurai muda akan mencukur ubun-ubun mereka, tanda masa kanak-kanak berakhir. Mereka juga akan menerima nama dewasa dan diberikan set pakaian dewasa pertama mereka.
Upacara ini sering dihadiri oleh keluarga dan tuan samurai muda, dan merupakan peristiwa penting dalam hidup mereka.
Menerima katana, pedang samurai, adalah ritual penting lainnya. Katana lebih dari sekadar senjata; itu adalah simbol kehormatan dan kewajiban samurai.
Dipercayakan sebuah katana menandakan bahwa samurai muda itu sekarang dianggap mampu memikul tanggung jawab seorang prajurit. Hal ini sering terjadi selama atau setelah upacara genpuku.
Bagi banyak samurai muda, pengalaman pertempuran pertama mereka juga merupakan ritus peralihan yang penting.
Apakah itu pertempuran kecil atau konflik besar, pengalaman ini menandai transisi mereka dari trainee menjadi warrior. Ujian keberanian, keterampilan, dan ketabahan mental mereka, dan sering kali berdampak besar pada perkembangan mereka sebagai seorang samurai Kekaisaran Jepang.
Kehidupan Sosial Samurai Kekaisaran Jepang
Kehidupan sosial dan tanggung jawab seorang samurai remaja diatur dengan ketat. Bahkan sangat terkait dengan status dan peran mereka dalam kelas samurai Kakaisaran Jepang.
Hal ini juga memberikan kerangka filosofis untuk memahami konsep-konsep seperti hidup, mati, dan tugas yang merupakan inti dari cara hidup samurai.
Sementara spesifikasinya dapat bervariasi tergantung pada periode dan status keluarga individu, hari-hari biasa berkisar pada pelatihan, belajar, dan memenuhi tugas mereka kepada keluarga dan tuan mereka.
Hari biasanya dimulai saat fajar, dengan samurai muda yang terbangun karena suara lonceng kuil atau ayam berkokok.
Rutinitas pagi termasuk mandi, diikuti dengan sarapan sederhana, sering kali terdiri dari nasi, acar sayur, dan ikan. Kebersihan dan diet seimbang dianggap penting untuk menjaga kesehatan dan kebugaran fisik yang baik.
Sebagai anggota elite militer, mereka diharapkan untuk menjunjung tinggi kehormatan keluarga mereka dan melayani tuan mereka dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Hal ini datang dengan serangkaian kewajiban dan tanggung jawab sosial yang membentuk interaksi mereka dengan orang lain dan aktivitas sehari-hari mereka.
Interaksi sosial seorang samurai remaja diatur oleh kode etik yang ketat. Mereka diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat sepenuhnya kepada yang lebih tua dan atasan mereka, dan memperlakukan rekan dan bawahan mereka dengan adil dan bermartabat.
Tercermin dalam setiap aspek perilaku mereka, mulai dari cara berbicara hingga cara mereka membawa diri. Bahkan kegiatan santai, seperti berpartisipasi dalam upacara minum teh atau pertemuan puisi, dilakukan dengan rasa kesopanan.
Tanggung jawab seorang samurai remaja dapat bervariasi tergantung pada status keluarga mereka dan masa hidup mereka.
Di masa damai, mereka mungkin melayani tuan mereka sebagai administrator atau birokrat, membantu mengelola urusan domain.
Mereka juga ditugaskan untuk mengawasi pelatihan anggota keluarga yang lebih muda atau mengatur keuangan rumah tangga.
Di masa perang, tanggung jawab mereka bisa jauh lebih berat. Mereka mungkin dipanggil untuk berperang, melayani sebagai pembawa pesan atau pengintai, atau bahkan memimpin pasukan ke dalam pertempuran.
Meskipun masih muda, mereka diharapkan untuk melakukan tugas-tugas ini dengan keberanian dan kompetensi, menempatkan kepentingan tuan mereka di atas kepentingan mereka sendiri.
Namun, kehidupan sosial seorang samurai remaja tidak semuanya tentang tugas dan kesopanan. Para samurai remaja Kekaisaran Jepang juga memiliki kesempatan untuk menjalin persahabatan.
Mereka membentuk ikatan yang erat dengan sesama peserta pelatihan, berbagi dalam cobaan dan kemenangan pelatihan mereka.
Para samurai remaja Kekaisaran Jepang juga mungkin terlibat dalam kompetisi persahabatan, menguji keterampilan mereka satu sama lain dalam semangat saling menghormati dan mengagumi.
Menghadapi Tekanan dan Harapan
Kehidupan mental dan emosional seorang samurai remaja sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Bushido, atau Jalan Prajurit.
Kode etik ini menekankan kebajikan seperti keberanian, kesetiaan, kehormatan, dan disiplin diri, membentuk pola pikir samurai dan pendekatan mereka terhadap kehidupan.
Kehidupan seorang samurai remaja penuh dengan tantangan dan tekanan. Mereka diharapkan unggul dalam pelatihan, menjunjung tinggi kehormatan keluarga mereka, dan siap menyerahkan nyawa untuk tuan mereka.
Tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga ketahanan mental. Mereka diajari untuk tetap kalem dan tenang dalam menghadapi kesulitan, mengendalikan emosi dan mempertahankan pikiran yang jernih bahkan di tengah panasnya pertempuran.
Konsep kematian juga merupakan bagian penting dari kehidupan mental dan emosional seorang samurai. Mereka diajari untuk menghadapi kematian dengan berani dan bermartabat, memandangnya bukan sebagai akhir, tetapi sebagai bagian alami dari kehidupan.
Sikap terhadap kematian ini dikemas dalam konsep seppuku, atau ritual bunuh diri, yang dipandang sebagai cara untuk menjaga kehormatan seseorang saat menghadapi aib atau kegagalan.
Terlepas dari penekanan pada disiplin dan kontrol, para samurai bukannya tanpa emosi. Mereka mengalami suka dan duka, cinta dan amarah, ketakutan dan kegembiraan.
Para samurai membentuk ikatan yang erat dengan rekan-rekan mereka, mengalami sensasi kemenangan dan sengat kekalahan, dan bergulat dengan kerumitan kehormatan dan tugas.
Samurai remaja Kekaisaran Jepang didorong untuk mengekspresikan emosi melalui seni, puisi, dan pengejaran budaya lainnya, memberikan jalan keluar bagi perasaan mereka dan cara untuk menumbuhkan kedalaman emosi mereka.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR