Nationalgeographic.co.id—Tidak dapat dimungkiri bahwa perubahan iklim saat ini telah mengubah banyak ekosistem di banyak belahan dunia. Dan dari semua masalah yang muncul, yang paling terdampak dari perubahan iklim adalah ekosistem dan masyarakat pesisir.
Oleh karena itu, UN Decade on Ecosystem atau Dekade PBB tentang Restorasi Ekosistem melakukan pendekatan langsung untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Pendekatan inovatif dan menjadi kunci strategi mereka adalah, melakukan restorasi mangrove.
UN Decade on Ecosystem berlangsung dari tahun 2021 hingga 2030. Mirip dengan dekade internasional terkait alam lainnya, tujuannya adalah untuk mempromosikan tujuan lingkungan PBB.
Program tersebut juga memiliki tujuan khusus untuk memfasilitasi kerja sama global untuk pemulihan ekosistem yang rusak dan hancur.
Belum lama ini, UN Decade on Ecosystem memilih program “Membangun Dengan Alam” di Demak di antara 10 program unggulan PBB yang pertama. Program itu menginspirasi gerakan global yang berkembang untuk menghidupkan kembali alam.
UN Enviroment Programme (Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah mencatat, bagaimana pada Hari Lahan Basah Sedunia, masyarakat di Indonesia beralih ke hutan bakau untuk melindungi masyarakat pesisir dari naiknya air laut dan badai yang lebih hebat.
Di sebuah desa di Pulau Jawa, Indonesia, delapan pria memegang gergaji dan parang dengan ketelitian yang terlatih. Mereka menyiapkan tiang bambu panjang yang akan mereka gunakan untuk mempertahankan komunitas mereka dari dampak perubahan iklim.
Masyarakat pesisir ini berjuang melawan erosi dan naiknya permukaan air laut yang telah menelan tanah yang luas di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk di kabupaten asal mereka di Demak. Kunci strategi mereka adalah merestorasi manggrove.
“Untuk melakukan ini, kami membuat perangkap sedimen dari bambu dan jaring setempat,” jelas Ahmad Busro, tokoh masyarakat, saat tiang-tiang menumpuk di belakangnya.
“Harapannya, dengan terkumpulnya sedimen yang cukup, benih-benih yang terlepas secara alami dari mangrove dapat mengendap dan tumbuh.”
Pendekatan inovatif untuk restorasi mangrove ini merupakan bagian dari upaya multipel yang dipelopori oleh Wetlands International. Upaya mereka memanfaatkan kekuatan alam agar bermanfaat bagi manusia dan alam.
Inger Andersen, Direktur Eksekutif Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), menggambarkan program tersebut sebagai “contoh luar biasa" dari kerja adaptasi yang cerdas dan berwawasan ke depan dengan aksi.
“Ini adalah model yang layak ditiru tentang bagaimana negara dapat menggunakan alam untuk menangkal dampak parah perubahan iklim sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru bagi masyarakat,” kata Andersen.
Ada momentum yang berkembang di balik misi Dekade PBB untuk melestarikan dan meregenerasi ekosistem di darat dan laut. Misi itu untuk mengatasi krisis akibat perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
Manusia telah secara signifikan mengubah tiga perempat lahan kering Bumi dan berdampak pada dua pertiga lautannya.
Pada Desember 2022, negara-negara menyepakati Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global baru yang mencakup target restorasi mangrove yang ambisius. Di bawah kerangka tersebut, negara-negara berjanji untuk memulihkan setidaknya 30 persen lahan dan perairan yang terdegradasi.
Air naik, tanah tenggelam
Nelayan dan petambak Demak mengarungi garis pantai dan perairan dengan perahu bercat merah, hijau, dan biru langit. Akan tetapi kapal-kapal ceria itu melewati ladang terbengkalai dan tambak udang, rumah-rumah yang banjir, batu nisan yang setengah terendam.
Apa yang mereka lewati itu dapat menjadi pengingat bahwa dampak perubahan iklim itu nyata. Mereka telah melihat dan akan mengalami dampak yang mungkin lebih buruk dari itu.
Penyebabnya bermacam-macam. pemanasan global menaikkan permukaan air laut, meningkatkan risiko banjir, gelombang laut menguat, dan meningkatkan erosi.
Sementara itu, sebagian besar sabuk pelindung hutan mangrove ditebang untuk membuat lebih banyak kolam ikan, sehingga tanah tenggelam karena ekstraksi air tanah yang berlebihan.
“Garis pantai Demak telah bergerak jauh ke belakang, sedemikian rupa sehingga sebagian besar daratan pesisirnya terendam,” kata Muhammad Yusuf, Direktur Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil di Kementerian Kelautan Indonesia. “Ratusan ribu hektar lahan hilang.”
Upaya sebelumnya untuk memperkuat pantai telah melibatkan tanggul laut beton dan skema penanaman kembali bakau.
Namun tembot laut yang berat tenggelam ke dalam lumpur lunak, dan airnya terlalu dalam bergolak untuk anakan bakau.
Kali ini masyarakat pesisir di Demak menemukan solusi yang lebih alami. Penduduk desa dan kontraktor telah membangun sekitar 3,4 km struktur penenang gelombang di perairan dangkal sepanjang 20 km dari pantai.
Alih-alih menghanyutkan tanah yang berharga, pasang surut menyimpan sebagian muatan sedimennya, menciptakan kondisi yang baik bagi mangrove untuk tumbuh kembali.
“Ketika hutan mangrove direhabilitasi dan dalam kondisi baik, keseimbangan ekosistem memberikan berbagai manfaat bagi masyarakat,” kata Apri Susanto Astra, koordinator program di Wetlands International Indonesia.
“Hutan mangrove yang baik akan menjadi habitat biota laut, termasuk ikan dan udang.”
Para petani juga setuju untuk membiarkan bakau tumbuh di sebagian lahan mereka, setelah mengetahui bahwa mangrove tidak hanya melindungi dari erosi tetapi juga memperbaiki kondisi tambak mereka.
Hampir 300 petani telah dididik dalam teknik berkelanjutan seperti produksi dan penggunaan pupuk organik yang telah meningkatkan pendapatan mereka.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | UN Enviroment Programme |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR