Nationalgeographic.co.id—Pertempuran Sekigahara merupakan momen penting dalam sejarah Kekaisaran Jepang. Peristiwa ini yang akan menentukan nasib bangsa selama berabad-abad mendatang.
Suara pedang yang beradu, gemuruh kuku, dan bau mesiu memenuhi udara saat dua pasukan kuat bentrok di dataran Sekigahara.
Saat itu, tanggal 21 Oktober 1600, dan nasib Jepang tergantung pada keseimbangan. Di satu sisi berdiri Tentara Timur, dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu, seorang ahli strategi yang licik dan prajurit yang berpengalaman.
Di sisi lain adalah Tentara Barat, dipimpin oleh Ishida Mitsunari, seorang loyalis klan Toyotomi dan lawan yang tangguh.
Latar Belakang Pertempuran
Pertempuran Sekigahara adalah pertempuran menentukan yang terjadi pada tanggal 21 Oktober 1600, antara dua faksi yang bersaing untuk menguasai Jepang: Tentara Timur dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu dan Tentara Barat dipimpin oleh Ishida Mitsunari.
Pertempuran tersebut terjadi di Sekigahara, sebuah kota kecil yang terletak di Prefektur Gifu saat ini. Hal ini menandai berakhirnya periode Sengoku Jepang, masa perang saudara dan kerusuhan politik.
Akar konflik dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-16 ketika Oda Nobunaga, seorang daimyo (penguasa feodal) yang kuat, mulai menyatukan Jepang melalui penaklukan militer.
Setelah kematiannya pada tahun 1582, jendralnya yang setia, Toyotomi Hideyoshi, melanjutkan pekerjaannya dan berhasil menaklukkan sebagian besar daimyo yang tersisa. Kemudian, membawa perdamaian ke negara tersebut.
Namun, setelah kematian Hideyoshi pada tahun 1598, kekosongan kekuasaan muncul karena putra dan ahli warisnya, Toyotomi Hideyori tidak berpengalaman untuk memerintah.
Dua faksi dengan cepat muncul. Satu dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu, mantan sekutu Hideyoshi, dan yang lainnya oleh Ishida Mitsunari, seorang loyalis klan Toyotomi.
Siapa yang Bertarung di Setiap Sisi?
Tentara Timur dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu mendapat dukungan dari banyak daimyo kuat dari bagian timur Jepang, termasuk klan Date, Mogami, Uesugi, dan Maeda.
Tentara Barat dipimpin oleh Ishida Mitsunari didukung oleh para daimyo yang kuat di bagian barat Jepang, termasuk klan Shimazu, Mori, Chosokabe, dan Otomo.
Tentara Timur terdiri dari sekitar 80.000 tentara, sedangkan Tentara Barat memiliki sekitar 120.000 tentara.
Namun, Angkatan Darat Barat memiliki kerugian yang signifikan dalam hal komposisi pasukan, karena banyak dari prajurit mereka adalah wajib militer yang tidak berpengalaman yang dengan tergesa-gesa direkrut untuk bertugas.
Ada juga perbedaan gaya kepemimpinan kedua pasukan. Tokugawa Ieyasu adalah ahli strategi yang licik dan pejuang berpengalaman yang memiliki pasukan yang terlatih dan disiplin.
Sebaliknya, Ishida Mitsunari adalah seorang loyalis dari klan Toyotomi yang memiliki sedikit pengalaman militer dan harus bergantung pada nasehat para jenderalnya selama pertempuran.
Pertempuran Sekigahara
Pertempuran dimulai pada pagi hari tanggal 21 Oktober 1600. Saat Tentara Timur berbaris menuju Sekigahara untuk menyerang Tentara Barat yang memiliki sekitar 100.000 orang.
Kedua pasukan bertemu di dataran. Pertempuran sengit pun terjadi, dengan kedua belah pihak saling bertukar panah dan tembakan senapan.
Senjata api memainkan peran penting dalam Pertempuran Sekigahara, karena merupakan salah satu pertempuran pertama di Jepang di mana kedua belah pihak menggunakan senjata dalam skala besar.
Angkatan Darat Timur, dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu, memiliki keuntungan signifikan dalam senjata api, karena mereka telah secara aktif memasukkannya ke dalam strategi militer selama beberapa tahun sebelum pertempuran. Pasukan mereka dipersenjatai dengan senapan dan arquebus, yang mereka gunakan untuk menghancurkan Angkatan Darat Barat.
Sementara Angkatan Darat Barat sendiri baru mulai memasukkan senjata api ke dalam strategi militer mereka. Banyak dari pasukan mereka masih dipersenjatai dengan senjata tradisional seperti pedang dan tombak.
Terlepas dari kerugian ini, Angkatan Darat Barat berhasil bertahan untuk sementara waktu, berkat keterampilan dan keberanian prajurit samurai mereka.
Pengkhianatan
Gelombang pertempuran berubah ketika Kobayakawa Hideaki, seorang daimyo yang berjanji untuk mendukung Angkatan Darat Barat, tiba-tiba berpindah pihak dan menyerang mantan sekutunya.
Selain itu, saat pertempuran berlangsung, daya tembak yang unggul dari Tentara Timur mulai memakan korban. Banyak komandan kunci Angkatan Darat Barat terbunuh atau terluka oleh tembakan, dan pasukan mereka terpaksa mundur.
Pengkhianatan Kobayakawa Hideaki membantu mengubah gelombang pertempuran. Angkatan Darat Timur muncul sebagai pemenang, dengan Ishida Mitsunari dan banyak pemimpin Angkatan Darat Barat lainnya tewas dalam pertempuran.
Setelah Pertempuran
Setelah Pertempuran Sekigahara, Tokugawa Ieyasu muncul sebagai pemenang dan mampu mengkonsolidasikan kekuasaannya atas Jepang. Dia mendirikan Keshogunan Tokugawa, yang memerintah Jepang selama lebih dari 250 tahun hingga Restorasi Meiji pada tahun 1868.
Salah satu hal pertama yang dilakukan Tokugawa adalah mendistribusikan kembali tanah kepada para pendukungnya dan menghukum mereka yang telah mendukung musuhnya.
Dia juga menetapkan sistem kehadiran bergantian, atau sankin-kotai, yang mengharuskan penguasa daerah menghabiskan tahun-tahun bergantian di Edo, ibu kota baru, sebagai cara untuk mengendalikan mereka.
Pemerintahan Tokugawa dicirikan oleh periode relatif damai dan stabil, yang dikenal sebagai Pax Tokugawa. Saat ia bekerja untuk memusatkan pemerintahan dan menciptakan Jepang yang bersatu.
Dia juga menerapkan kebijakan sakoku, atau "negara tertutup", yang membatasi kontak dengan negara asing untuk melestarikan budaya dan tradisi Kekaisaran Jepang.
Namun, ada juga beberapa tantangan terhadap pemerintahan Tokugawa. Termasuk pemberontakan oleh berbagai kelompok yang menentang rezimnya, dan kedatangan kekuatan asing seperti Amerika Serikat yang berusaha membuka perdagangan Jepang.
Tantangan-tantangan ini pada akhirnya berkontribusi pada jatuhnya Keshogunan Tokugawa pada pertengahan abad ke-19, yang mengarah ke Restorasi Meiji dan dimulainya era baru dalam sejarah Kekaisaran Jepang.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR