Komitmen untuk memelihara senjata ini mencerminkan penghargaan tinggi di mana katana dipegang, sebagai alat, senjata, dan karya seni.
Setelah digunakan, katana harus dibersihkan untuk menghilangkan residu atau kelembapan yang berpotensi menimbulkan korosi pada bilahnya.
Metode pembersihan tradisional melibatkan peralatan yang dikenal sebagai Mekugi-nuki, yang meliputi kertas nasi untuk menghilangkan minyak dan kotoran, minyak khusus (minyak Choji) untuk mengawetkan pisau, bola bubuk (Uchiko) untuk memoles, dan wadah untuk menyimpan.
Proses ini membutuhkan penanganan yang hati-hati untuk menghindari kerusakan pada permukaan pisau yang dipoles halus atau menyebabkan cedera.
Selain pembersihan rutin, katana juga memerlukan pemeriksaan berkala untuk memeriksa tanda-tanda kerusakan, seperti bintik karat, torehan, atau sambungan yang longgar.
Kekhawatiran serius apa pun harus ditangani oleh seorang profesional, karena mencoba memperbaiki mata pisau tanpa pengetahuan dan keterampilan yang tepat dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.
Aspek penting lain dari perawatan katana melibatkan penyimpanan yang tepat. Katana harus disimpan secara horizontal, dengan ujung menghadap ke atas untuk mencegah tekanan berlebihan pada ujungnya, dan di tempat yang kering dan sejuk untuk menghindari penumpukan kelembapan yang dapat menyebabkan karat.
Selubung, atau Saya, melindungi bilah saat tidak digunakan, tetapi harus berhati-hati agar tidak menyimpan katana di sarungnya untuk waktu yang lama di lingkungan yang lembab, karena ini dapat menjebak kelembapan dan menyebabkan karat.
Dalam hal pengangkutan, katana harus selalu dibawa dalam wadah pelindung, idealnya yang dirancang khusus untuk pedang.
Praktik memelihara katana adalah ritual tersendiri. Diantaranya harus membutuhkan kesabaran, perhatian terhadap detail, dan rasa hormat terhadap senjata.
Samurai Kekaisaran Jepang melihat katana sebagai tugas wajib yang mencerminkan etos disiplin dan rasa hormat mereka yang lebih luas.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR