Nationalgeographic.co.id—Katana, pedang samurai legendaris Kekaisaran Jepang mewujudkan konvergensi seni, keahlian, dan fungsionalitas yang kuat. Bukan hanya digunakan dalam pertempuran, namun dalam pemakaiannya juga mempunyai ritual unik tersendiri.
Lebih dari alat perang, katana mewakili objek signifikansi spiritual dan bukti kedalaman filosofi budaya seni bela diri di Kekaisaran Jepang.
Daya tarik abadi katana tidak hanya terletak pada ketajamannya atau daya tahannya yang luar biasa. Akan tetapi pada mistik yang dibawanya, hasil dari tradisi dan kisah kelas prajurit yang berusia berabad-abad.
Asal usul katana dapat ditelusuri kembali ke periode Heian (794-1185 M), masa berkembangnya budaya dan transisi politik di Jepang.
Pendahulu katana, tachi, kemudian menjadi senjata pilihan di kalangan samurai Kekaisaran Jepang. Saat pertempuran berkuda menjadi lebih umum, desain tachi, dengan lekukan dan ujungnya yang lebih menonjol menghadap ke bawah saat dipakai, menjadi populer.
Namun, karena sifat peperangan bergeser dari pertempuran lapangan terbuka ke pertempuran jarak dekat selama periode Heian akhir, kebutuhan akan senjata yang lebih fleksibel dan mudah ditarik menjadi jelas.
Katana adalah ciptaan unik, menandai keberangkatan dari tachi sebelumnya. Karakteristik utamanya yaitu terdapat bilah melengkung bermata satu dengan pelindung melingkar atau persegi dan pegangan panjang untuk mengakomodasi dua tangan. Hal ini menjadikannya senjata yang efektif untuk memotong dan menusuk.
Bilahnya dikenakan dengan ujung tombak menghadap ke atas, memungkinkan seorang samurai Kekaisaran Jepang untuk menarik dan menyerang musuh dalam satu gerakan mengalir, ebuah praktik yang menjadi pusat disiplin seni bela diri yang dikenal sebagai Iaido.
Katana juga memiliki tempat yang signifikan dalam masyarakat Jepang. Bagi para samurai, pedang mereka adalah simbol tugas, kehormatan, dan kebanggaan pribadi. Senjata-senjata ini begitu dihormati sehingga sering diberi nama dan dianggap sebagai bagian dari jiwa prajurit.
Rasa hormat ini tidak terbatas pada medan perang, bahkan di masa damai, samurai diwajibkan oleh undang-undang untuk membawa pedang mereka, yang semakin memperkuat status katana sebagai simbol ikonik hierarki sosial dan kekuasaan.
Pentingnya katana meluas ke alam spiritual dan filosofis juga. Bushido, kode etik samurai, menganggap katana sebagai representasi fisik dari kualitas batin prajurit yakni perpaduan antara disiplin, integritas moral, dan kesiapan yang tak tergoyahkan untuk menghadapi kematian.
Buddhisme Zen, yang memengaruhi banyak samurai, mengaitkan tindakan serangan katana yang cepat dan tegas dengan kesegeraan pencerahan, sehingga memberi senjata itu lapisan tambahan makna metafisik.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR