Hasil penelitian juga telah menunjukkan bahwa polutan organik juga mempengaruhi karang atau organisme laut lainnya. Pada akhirnya dapat berdampak negatif pada kesehatan laut.
Oleh karena itu penelitian lebih lanjut juga melihat ekosistem lain seperti padang lamun, mangrove atau organisme yang hidup di sedimen ekosistem pesisir.
"Dibandingkan sampah plastik biasa, sifat unik Plastiglomerat membutuhkan bentuk pengelolaan ekosistem pesisir yang spesifik", kata Dwi.
“Jika sampah dari daerah perkotaan di pantai tropis dibuang dan dikelola dengan lebih baik, masalah serius dapat dicegah.”
Pengelolaan sampah plastik
Seperti diketahui, sampah plastik di laut berdampak negatif terhadap ekosistem pesisir dan laut. Itu karena makhluk laut seperti paus, penyu, dan ikan salah mengira sampah plastik sebagai makanan.
Makhluk laut akhirnya akan menelan bahan yang tidak dapat mereka cerna. Plastik kemudian terakumulasi dalam tubuh mereka selama hidup mereka, membunuh mereka atau naik ke rantai makanan dan akhirnya berputar kembali ke manusia.
Pengelolaan sampah plastik yang tepat masih kurang di masyarakat pesisir di seluruh Indonesia, negara kepulauan dengan sekitar 17.000 pulau, menurut sebuah studi tahun 2020.
Makalah tersebut telah diterbitkan di jurnal PLoS One dengan judul "Ocean plastic crisis—Mental models of plastic pollution from remote Indonesian coastal communities."
Menurut hasil penelitian itu, penggunaan plastik di Indonesia telah semakin melampaui upaya mitigasi. Limbah di sebagian besar masyarakat pesisir tidak berakhir di tempat pembuangan sampah atau di dekat fasilitas daur ulang.
Faktanya, rata-rata 2 metrik ton sampah plastik per minggu mungkin berakhir di lautan hanya dari satu desa. Warga membakar atau membuang limbah mereka, baik langsung ke laut atau di tumpukan yang bisa hanyut saat hujan deras.
Setidaknya, sekitar 6,8 juta metrik ton sampah plastik setiap tahunnya di hasil masyarakat Indonesia, menurut survei tahun 2017 oleh Kemitraan Aksi Plastik Nasional Indonesia.
Hanya 10% dari limbah tersebut yang didaur ulang di 1.300 pusat daur ulang yang beroperasi di seluruh negeri. Sementara jumlah yang hampir sama, sekitar 620.000 metrik ton, berakhir di lautan.
Beberapa sampah plastik itu terurai dengan cepat dan menjadi mikroplasti, sementara yang lainnya menjadi mengikat material alami seperti pasir, batu, dan kerikil di sekitarnya menjadi batu plastik atau plastigomerat.
“Saya kira masalah sampah plastik ini sangat masif dan mencakup dari hulu hingga hilir,” kata Dwi. “Akan ada lebih banyak temuan baru tentang sampah plastik baik makro maupun mikro."
Saat ini, untungnya pemerintah dan masyarakat sadar akan bahaya plastik dan berusaha mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.”
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Scientific Reports,PLoS One,Kiel University |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR