Nationalgeographic.co.id—Seringkali sampah di pantai dibakar begitu saja dan akhirnya berubah menjadi bentuk khusus yang disebut plastigomerat. Hasil penelitian tim peneliti Indonesia-Jerman menunjukkan, bahwa plastigomerat atau batu plastik dapat mengancam ekosistem pesisir.
Menurut penelitian tersebut, plastik yang meleleh terurai tidak hanya menjadi mikroplastik dengan cepat. Plastik yang meleleh juga dapat terkontaminasi polutan organik.
Para peneliti telah menerbitkan hasil penelitian mereka di jurnal Scientific Reports belum lama ini. Hasil penelitian itu juga untuk pertama kalinya mengidentifikasi batu plastik atau plastigomerat di pantai Indonesia.
Jurnal tersebut dipublikasikan dengan judul "Plastiglomerates from uncontrolled burning of plastic waste on Indonesian beaches contain high contents of organic pollutants" dan merupakan jurnal akses terbuka.
"Sampai sekarang, ada penelitian yang agak mendasar yang menggambarkan pembentukan plastiglomerat," kata penulis pertama Dwi Amanda Utami.
"Dengan hasil kami, kami telah menunjukkan untuk pertama kalinya bagaimana plastiglomerat berbeda dari limbah plastik lainnya dan dapat membuat pernyataan yang lebih baik tentang dampak lingkungannya."
Dwi adalah ilmuwan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan datang ke Kiel untuk beasiswa selama tiga bulan.
Pekerjaan penelitian dimungkinkan dengan pendanaan dari Layanan Pertukaran Akademik Jerman (DAAD). Program itu adalah kerja sama antara BRIN dan para ilmuwan di bidang penelitian prioritas Kiel Marine Science (KMS) di Kiel University.
Pembentukan batu plastik
Jika sampah plastik dibakar langsung di pantai, proses pencairan dan pembakaran ini menghasilkan "batuan" plastiglomerat. Bentuk itu itu memiliki matriks plastik rantai karbon terdegradasi.
Plastik yang terdegradasi secara kimia ini lebih cepat menjadi mikroplastik melalui paparan angin, ombak, dan butiran sedimen di pantai.
Proses pembakaran yang tidak sempurna melepaskan polutan baru dari plastik yang mula-mula mengendap di plastik kemudian terlepas ke lingkungan.
Source | : | Scientific Reports,PLoS One,Kiel University |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR