Kebijakan agama Henry juga terombang-ambing, karena ia terombang-ambing antara praktik Protestan dan Katolik, yang menyebabkan periode pergolakan dan penganiayaan agama.
Pada saat kematiannya pada tahun 1547, Inggris telah mengalami perubahan yang tidak dapat ditarik kembali, baik secara agama maupun politik.
Proyek Pembangunan Ambisius Henry
Raja Henry VIII pada masa pemerintahannya, memulai beberapa proyek ambisius yang menunjukkan keagungan, visi, dan keinginannya untuk meninggalkan warisan abadi.
Di antara yang paling terkenal adalah Hampton Court Palace, sebuah bangunan megah yang terletak di pinggiran kota London. Awalnya diperoleh dari Kardinal Thomas Wolsey, Henry memperluas dan mengubahnya menjadi tempat tinggal megah, memadukan gaya arsitektur Tudor dan Renaisans.
Istana ini menjadi simbol kemewahan dan kekuasaan Henry, dengan dapur yang luas, aula besar, dan taman yang indah.
Proyek penting lainnya adalah Mary Rose, sebuah kapal perang yang mewakili puncak teknik angkatan laut Tudor.
Diluncurkan pada tahun 1511, Mary Rose adalah salah satu kapal pertama yang membawa senjata berat dan merupakan bukti komitmen Henry untuk membangun angkatan laut Inggris yang tangguh. Tragisnya, pada tahun 1545, kapal tersebut tenggelam di Solent saat terjadi pertempuran.
Apakah Henry VIII Raja yang Baik atau Buruk?
Kebijakan dan keputusan Henry seringkali didorong oleh keinginan pribadi. Anak-anaknya, Mary I, Elizabeth I, dan Edward VI, masing-masing bergulat dengan warisan agama yang ditinggalkannya.
Meskipun sering dikenang karena banyak istrinya dan putusnya hubungan dengan Roma, pengaruh Henry di Inggris sangat beragam.
Dia memusatkan kekuasaan, memperkuat angkatan laut, dan mendukung seni. Istana Hampton Court dan Mary Rose adalah bukti kecintaannya pada keagungan dan kehebatan angkatan laut.
Pemerintahan Raja Henry VIII merupakan titik balik dalam sejarah Inggris. Pilihan pribadinya menyebabkan pergolakan politik dan agama yang masih bergema hingga saat ini.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR