Nationalgeographic.co.id—Sudah jadi hal umum bahwa Jakarta adalah kota paling berpolusi di Indonesia. Indeks kualitas udaranya, menurut pantauan IQAir, pada 9 September 2023 memiliki konsentrasi PM2.5 64 miligram per kubik. Angka itu terlampau tinggi dari standar kualitas udara tahunan WHO. Bahkan, polusinya sangat tampak sehingga jadi pembahasan publik pada Juni silam.
Dalam Laporan Inventarisasi Emisi Pencemar Udara DKI Jakarta tahun 2020 oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, kendaraan adalah sumber terbesar polusi udara. Laporan itu membandingkan sumber lainnya seperti industri manufaktur, industri energi atau pembangkit listrik, pemukiman, dan komersial.
Kendaraan menghasilkan 76,793 ton per tahun atau 72,4 persen dari total nitrogen oksida (NOx). Selain kendaraan, sumber emisi lainnya adalah industri yang menghasilkan sulfur dioksida (SO2) sebesar 2.637 ton per tahun.
Kendaraan juga menghasilkan emisi karbon dioksida sebesar 96,36 persen, partikulat PM10 dan PM2.5 masing-masing 57,9 persen dan 67,04 persen, karbon hitam 84,48 persen, dan senyawa organik volatil non-metana (NMVOC) sebesar 98,5 persen.
Kepekatan polusi Jakarta yang disebabkan kendaraan terbukti berkurang drastis pada April 2020. Saat itu, pandemi COVID-19 pertama kali datang ke Indonesia dan peraturan kuncitara diberlakukan. Langit ibukota kembali membiru dan udaranya ramah untuk dihirup. Namun, keadaan itu tidak berlangsung lama, terutama ketika kuncitara mulai dilonggarkan.
Sayangnya, polusi udara tidak selalu berasal dari kota itu sendiri. Jakarta digempur dari berbagai arah di sekitarnya yang dikirim lewat udara, menurut laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) tahun 2020.
Emisi pencemar udara di sekitar Jakarta tercatat paling banyak berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Ketiga provinsi itu paling banyak menghasilkan emisi seperti nitrogen oksida, PM2.5, dan sulfur dioksida,yang bisa sampai ke Jakarta lewat arah angin pada waktu-waktu tertentu.
Akademisi ilmu lingkungan di Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa berpendapat, masuk akal jika polusi udara bisa terbawa angin. Akan tetapi, hubungan antara polusi udara dan angin korelasinya tidak signifikan untuk menjelaskan jarak sumber dan konsentrasinya.
“[Penelitian] Ini kan lintas batas—sejauh mana—sehingga tidak bisa mengatakan [polusi] yang ada di Bekasi ke barat dan Banten ke timur,” jelasnya.
“Tetapi kalau dalam konteks internal DKI yang berimplikasi pada konsentrasi yang tinggi, bisa jadi, misalkan, arah angin mengarah ke tempat tertentu sehingga tempat itu lebih tinggi dari tempat lainnya.”
Jika penelitian tersebut benar, tentunya sangat mungkin bahwa polusi udara dari Jakarta bisa juga terbang mencemari dara kota-kota di sekitarnya, tambah Mahawan.
Polusi udara menyebabkan kerugian yang besar, baik secara individu maupun ekonomi suatu daerah. Masyarakat bisa menderita penyakit pernapasan kronis yang biaya perawatannya sangat mahal. Kematian dini akibat polusi telah memakan ribuan korban jiwa di Jabodetabek.
Mahawan menyarankan untuk adanya peraturan yang mengharuskan masyarakat menggunakan transportasi umum, diikuti dengan sarana yang memadai. Salah satu contoh alih fungsi sarana seperti perubahan Terowongan Kendal dekat Stasiun Sudirman yang sebelumnya untuk transportasi menjadi untuk pejalan kaki.
Hanya saja transportasi umum sering tidak memenuhi kebutuhan masyarakat, karena banyak sarana yang tidak terintegrasi dengan jenis transportasi umum lainnya. Di sinilah, pemerintah juga perlu mengambil langkah agar lebih meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi.
Kendaraan dan kebutuhan rumah tangga harus diganti menjadi lebih ramah lingkungan seperti bahan bakar listrik. Hal itu termasuk dengan transisi sumber energi yang lebih minim polusi udara, seperti menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Tentunya untuk perubahan ini memerlukan sokongan dari kebijakan.
Sumber polusi udara juga berasal dari maraknya pembakaran sampah oleh masyarakat di sekitar Jabodetabek. Masalahnya, alasan mengapa pembakaran sampah terjadi, salah satunya adalah karena kurangnya sarana pembuangan dan lambatnya pengangkutan sampah.
Membakar sampah rumah tangga dapat menyebabkan penyebaran bahan kimia beracun sebagai polusinya, antara lain nitorgen oksida, sulfur oksida, bahan kimia organik yang mudah menguap (VOC), dan bahan organik polisiklik (POM). Oleh karena itu, sebagai pengentasan permasalahan polusi udara diperlukan kebijakan yang bersinambungan dalam pelayanan publik.
Tidak hanya sekadar pemerintah, bidang industri pun harus berupaya dalam meminimalisasi polusi udara. Industri harus memiliki teknologi produksi yang lebih bebas emisi, walaupun harganya mahal.
“Produksi itu terjadi karena ada permintaan. Permintaan ada karena populasi yang bertambah dan kesejahteraan yang meningkat. Jadi, konsumen dan masyarakat harus bisa berkontribusi dan mengonsumsi yang ramah lingkungan,” ujar Mahawan.
“Harganya lebih mahal sedikit, tidak apa-apa. Soalnya, industri pada saat harus mengeluarkan uang tambahan untuk mengendalikan polusi udara harus mengeluarkan uang tambahan sehingga produknya lebih tinggi.”
Kisah ini bagian dari Saya Pilih Bumi, kampanye untuk aksi pelestarian lingkungan oleh National Geographic Indonesia.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR