Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian di Sumatera dan Kalimantan mengungkapkan dinamika lahan gambut pesisir sejak masa puncak zaman es terakhir. Peneliti menemukan bahwa kenaikan permukaan laut dan perubahan iklim berperan sebagai pemicu.
Anggi Hapsari dari University of Goettingen memimpin penelitian bersama rekan dari University of Bremen dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Rincian penelitian tersebut telah dijelaskan di jurnal Global Change Biology.
Hasil penelitian dipublikasikann dengan judul "Sea level rise and climate change acting as interactive stressors on development and dynamics of tropical peatlands in coastal Sumatra and South Borneo since the Last Glacial Maximum."
Dijelaskan, bahwa lahan gambut di Asia Tenggara, beserta berbagai jasa ekosistemnya yang penting, sebagian besar tersebar di wilayah pesisir Sumatera dan Kalimantan.
Ekosistem ini terancam oleh pembangunan pesisir, pemanasan global, dan kenaikan permukaan laut (SLR).
"Meskipun semakin banyak perhatian yang diberikan atas keanekaragaman hayati dan penyimpanan karbon dalam jumlah besar," tulis peneliti.
"Pengetahuan tentang bagaimana mereka bermula dan berkembang dari waktu ke waktu, dan bagaimana mereka merespons perubahan lingkungan di masa lalu masih kurang."
Seperti misalnya curah hujan, permukaan laut, dan aktivitas awal antropogenik, peneliti menambahkan.
"Untuk meningkatkan pemahaman kami mengenai hal ini, kami melakukan studi paleoekologi multi-proxy di Semenanjung Kampar dan lahan gambut Katingan di wilayah pesisir Riau dan Kalimantan Tengah, Indonesia," peneliti mengungkapkan.
Hasilnya menunjukkan bahwa waktu permulaan dan lingkungan kedua lahan gambut sangat berbeda. Sehingga menunjukkan bahwa gambut dapat terbentuk di bawah berbagai vegetasi.
Itu terjadi cepat setelah terdapat cukup kelembapan untuk membatasi dekomposisi bahan organik.
Dinamika masa lalu pada kedua lahan gambut tersebut sebagian besar disebabkan oleh faktor alam, sedangkan aktivitas antropogenik hampir tidak relevan.
Perubahan curah hujan dan permukaan laut menyebabkan pergeseran vegetasi hutan rawa gambut, laju akumulasi gambut, dan pola kebakaran di kedua lokasi.
"Kami menyimpulkan bahwa kejadian El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan SLR secara bersamaan menghasilkan efek sinergis yang menyebabkan terjadinya kebakaran hebat di ekosistem lahan gambut pesisir yang masih asli," menurut peneliti.
"Namun hal ini tidak mengganggu pertambahan lahan gambut."
Di masa depan, SLR ditambah dengan proyeksi peningkatan frekuensi dan intensitas ENSO, berpotensi memperbesar dampak negatif kebakaran lahan gambut antropogenik.
Hal ini secara prospektif akan merangsang pelepasan karbon secara besar-besaran, sehingga pada gilirannya dapat berkontribusi memperburuk krisis iklim global.
Terutama ketika ambang batas yang belum diketahui terlampaui dan pertambahan lahan gambut dapat dihentikan, yaitu lahan gambut kehilangan fungsi penyerap karbonnya.
"Mengingat tingkat SLR yang pesat saat ini, pengelolaan lahan gambut pesisir harus mulai mengembangkan strategi pengurangan atau mitigasi risiko kebakaran," menurut peneliti.
Lahan gambut pesisir
Lahan gambut di Asia Tenggara (Tenggara) mempunyai fungsi dan jasa ekosistem yang penting. Misalnya, untuk menyimpan karbon, untuk menyediakan habitat bagi flora khusus yang beradaptasi dengan lingkungan yang miskin nutrisi, asam, dan tergenang air.
Kemudian juga untuk menyediakan penghidupan dan sumber daya lainnya bagi masyarakat lokal, pengaturan air, rekreasi dan pendidikan.
Di Asia Tenggara, lahan gambut tersebar terutama di Indonesia dan Malaysia (masing-masing seluas 13,43 dan 2,6 Mha). Sebagian besar lahan gambut berlokasi di wilayah pesisir Sumatra dan Kalimantan.
Lahan gambut pesisir Asia Tenggara diasumsikan berevolusi dari rawa bakau, dan dikonfirmasi oleh penelitian dari deposit Batanghari di Jambi, Mendaram di Brunei dan Batu Niah, Sarawak, Malaysia.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak variasi dalam hal waktu, kondisi dan faktor pendorong, serta perkembangan dan evolusi lahan gambut pesisir di Asia Tenggara dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya.
"Mengetahui bagaimana lahan gambut berevolusi dari waktu ke waktu dapat memberikan wawasan berharga mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika dan fungsi lahan gambut," kata peneliti.
Gambut pesisir Indonesia
Untuk penelitian ini, Hapsari dan rekan meneliti wilayah gambut pesisir di Kalimantan (Katingan) dan Sumatera (Semenanjung Kampar). Meskipun terletak di wilayah pesisir, lahan gambut tersebut dimulai pada periode dan lingkungan yang berbeda.
Catatan-catatan ini mengkonfirmasi adanya variasi dalam asal usul lahan gambut pesisir Asia Tenggara. Hal ini juga menunjukkan bahwa pembentukan gambut dapat dimulai pada berbagai substrat dengan berbagai jenis vegetasi.
Pembentuk gambut pesisir dapat terjadi selama tersedia cukup kelembaban untuk menciptakan kondisi jenuh air atau genangan yang membatasi dekomposisi.
Perubahan curah hujan menyebabkan pergeseran vegetasi dan perbedaan tingkat akumulasi gambut di lahan gambut Katingan dan Semenanjung Kampar.
Hasilnya menunjukkan bahwa kebakaran di kedua lahan gambut umumnya berkorelasi dengan perubahan perilaku ENSO sepanjang Holosen dan penurunan curah hujan di Kalimantan dan Sumatera.
Perubahan permukaan laut juga mendorong pergeseran vegetasi di kedua lahan gambut tersebut terutama mempengaruhi posisi hutan mangrove.
Catatan menunjukkan bahwa aktivitas antropogenik hampir tidak relevan di masa lalu, tidak seperti dampak aktivitas manusia yang berskala jauh lebih besar saat ini.
Oleh karena itu, perubahan lingkungan yang diamati di lahan gambut Katingan dan Semenanjung Kampar hampir seluruhnya disebabkan oleh faktor alami, terutama iklim dan permukaan laut.
Pengetahuan ini, pada gilirannya, dapat berkontribusi dalam mengukur kontribusi atau relevansi variabilitas alami versus perubahan penggunaan lahan antropogenik. Itu dibandingkan terhadap berbagai fungsi dan jasa ekosistem di lahan gambut.
Terkait dampak perubahan iklim, hal ini masih menjadi tantangan. Hal itu karena perubahan iklim dalam skala besar dalam beberapa dekade atau abad terakhir disebabkan oleh aktivitas manusia.
Namun, hal ini memungkinkan dilakukannya kuantifikasi dampak terkait perubahan penggunaan atau tutupan lahan. Pada gilirannya dapat memberikan skala dan landasan yang lebih kuat untuk analisis dampak lingkungan dan upaya restorasi.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Global Change Biology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR