Nationalgeographic.co.id—Kegiatan mendaki gunung bukan lagi hanya sekadar aktivitas pendaki yang menyukai petualangan. Dewasa ini, kegiatan pariwisata bergerak untuk masyarakat awam yang ingin mengenal pesona bentang alam di Indonesia.
Masalahnya, industri ini baru bergerak belakangan sehingga belum begitu memadai. Padahal, ada ratusan gunung menjulang tinggi di Indonesia dan salah satunya merupakan Tujuh Puncak Tertinggi Dunia (World Seven Summit).
Pegiat pariwisata dari Warna Indonesia Tour & Travel berpendapat, perlu ada pola perjalanan agar menghidupkan pariwisata gunung. Saat berpelesiran, wisatawan tidak hanya menginginkan melihat keindahan alam, tetapi juga mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru.
"Artinya, secara alamnya tadi kita gunungnya terbanyak. Kemudian fenomena alamnya juga bisa dipelajari banyak hal [untuk wisatawan]," ujar Nur dalam kegiatan Indonesia Mountain Tourism Conference di Jakarta, 27 September 2023.
"[Kita bisa mengajarkan wisatawan] tentang geologinya, tropical forestnya, kita bisa bicara tadi burung (bird watching)—ternyata kita burungnya banyak sekali, kemudian bisa reptil, bisa macam-macam."
Wisata alam tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu, pariwisata harus menghadirkan keunikan dari setiap gunung dengan karakteristiknya. Tidak sedikit dari masyarakat tradisional di Indonesia menganggap gunung punya nilai filosofis dan budaya.
Misalnya Gunung Merapi yang merupakan bagian utara dari sumbu tata letak Kesultanan Yogyakarta. Sumbu ini disejajarkan dengan Kraton Yogyakarta dan Pantai Selatan, sebagai filosofi bahwa penguasa Jawa harus imbang antara dunia atas dan dunia bawah. Sumbu filosofis ini pun baru-baru ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Pilihan lainnya dalam menghidupi pariwisata Gunung Merapi dari segi budaya, dapat mengajak wisatawan mengunjungi Candi Borobudur. Di sini, pemandu wisata harus punya ilmu pengetahuan tidak hanya pada medan pendakian, melainkan juga pada kearifan lokal.
Ada sekitar 127 gunung aktif secara vulkanik, dan sekitar 500 gunung tidak aktif yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Angka ini membuat Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki gunung berapi paling banyak di dunia.
Ancaman dari kegiatan pariwisata pendakian gunung adalah erupsi, dan memaksa aktivitasnya tersendat. Itu sebabnya, pelaku industri pariwisata harus menghadirkan pilihan lain untuk kegiatan wisata pendakian.
Contohnya, ketika Gunung Merapi tutup karena aktivitas vulkanik, industri wisata bisa bergeser ke Gunung Merbabu. Gunung Merbabu menjadi penopang dalam pola pariwisata di sekitar Gunung Merapi.
Ketua Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) wilayah Jawa Tengah, Dasirun, berpendapat bahwa ada banyak potensi yang dapat digali dari pariwisata pendakian gunung yang kurang populer, terutama gunung vulkanik.
Padahal, kehadiran gunung vulkanik di Indonesia membuat alamnya menjadi subur, sehingga menghadirkan kekayaan keanekaragaman hayati. Masyarakat di Indonesia pun memanfaatkan tanah hasil aktivitas gunung vulkanik sebagai pertanian untuk memulai peradaban yang kaya akan kebudayaan.
"Intinya kita kaya, baik alamnya, gunungnya, geofisik gunungnya, maupun budayanya, sama biodiversitynya, ada flora pun dan sebagainya," kata Dasirun, dalam pertemuan yang sama.
Dia pun mengatakan bahwa dengan banyak opsi dalam pola pariwisata, wisatawan dapat menentukan pilihan aktivitasnya. Dengan menghadirkan pola perjalanan yang matang, industri wisata tidak hanya membatasi minat, tetapi mengakomodasi minat wisatawan tentang potensi pariwisata sekitar.
Pariwisata berkelanjutan
Lereng gunung merupakan kawasan hutan dan menjadi benteng pertahanan satwa yang dilindungi. Pegiat industri pariwisata gunung menyadari bahwa keanekaragaman hayati sangat penting untuk dijaga, mengingat wisatawan menaruh minat pada kekayaan alam.
Ada pula dampak buruk dari pariwisata gunung adalah kebersihan. Sampah kerap mencemari pemandangan dan lingkungan gunung, terutama di tempat perkemahan. Sampah masih dapat dengan banyak dijumpai, walaupun sudah ada peraturan dan konsep mitigasinya seperti pengecekan sampah di pintu masuk pendakian.
"Jadi, kalau saya inginnya teman-teman sekarang punya action for responsible tourism (aksi untuk pariwisata yang bertanggung jawab)," seru Dasirun. Dia menyayangkan, sudah banyak tempat yang menyerukan kampanye pariwisata tanpa sampah atau zero waste, tetapi sampah masih dapat dengan mudah ditemukan di gunung.
"Malu kita. Zero waste [sebagai seruannya] tetap di gunung, sampah semuanya. Kadang di kampung-kampung wisata sama juga, [ditemukan] sampah."
Ary Suhandi, pengamat pariwisata dari Indonesian Ecotourism Network berpendapat, sumber masalah lingkungan di gunung—seperti sampah—adalah pariwisata berlebih (overtourism). Industri bersama masyarakat setempat punya keunggulan dalam pengelolaan pariwisata gunung, berupa kontrol akses.
Melalui konferensi ini, Ary menyerukan agar pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat menerapkan peraturan untuk penjagaan lingkungan gunung sebagai temapt pariwisata.
"Persoalan di Indonesia is in the management (adalah pada manajemen). Jadi, pendekatan manajerial itu penting banget," tuturnya. "Faktor pariiwsata itu sendiri kompleks, faktor multidisiplin juga begitu kompleks. Tetapi, in the same time, kalau nanti enggak dijagain, bisa kolaps sebelum overtourism."
Dasirun menambahkan, SDM sangat penting dalam urusan wisata pendakian gunung agar tetap terjaga. Industri harus memiliki standar untuk pengelolaan pariwisata gunung, seperti sertifikasi. Sertifikasi seperti pada pemandu, juga tidak bisa diberikan begitu saja atau mengejar kuantitas, melainkan mempertimbangkan kualitas agar kebersihan gunung terjaga.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR