Nationalgeographic.co.id—Pertempuran Orontes adalah bentrokan antara Kekaisaran Bizantium dan Kekhalifahan Fatimiyah pada tanggal 15 September 994 M. Pertempuran itu terjadi karena terjadi karena upaya ekspansi Kekaisaran Bizantium di Timur Tengah selama hampir abad kesepuluh.
Keduanya adalah dua kekuatan besar pada akhir abad kesepuluh, namun ekspansi Bizantium yang mendominasi seluruh perbatasan timur Kekaisaran selama hampir abad kesepuluh memicu bentrokan.
Tidak banyak informasi mengenai pertempuran itu sendiri yang disediakan oleh sumber-sumber utama, selain dari rangkaian dasar peristiwa dan tokoh utama di yang terlibat.
Salah satu sumbernya adalah dari Yahya ibn Said al-Antaki dari Antiokhia (sekitar 980 – c.1034). Ia adalah seorang dokter Kristen Melkite Mesir dan satu-satunya penulis kronik Arab Yunani-Kristen yang masih ada.
Ia menulis bahwa Kaisar Basil II memerintahkan Duke Antiokhia, Michael Bourtz untuk memobilisasi pasukannya melawan serbuan pasukan jenderal Kekahlifahan Fatimiyah (asal Turki) Manjutakin (sekitar 1007). Kemudian mengirimkan bala bantuan di bawah master dan duke Antiokhia Leo Melissenos.
Yahya tidak memberikan informasi lebih rinci tentang jumlah dan komposisi dari pasukan yang dikirim untuk membantu penduduk Aleppo dan menghadang Manjutakin. Seperti misalnya rasio pasukan kavaleri-infantri, unit-tagmatik yang datang sebagai bala bantuan dari ibu kota, dan bala bantuan tematis lainnya.
Namun, Bar Hebraeus, seorang uskup Syria abad ke-13, menyebutkan sekitar 50.000 orang, "sebagian penunggang kuda dan sebagian pejalan kaki."
Meskipun jumlah ini mungkin terlihat tidak masuk akal, namun pada saat itu jumlah tersebut sudah sesuai dengan kemampuan Kekaisaran Bizantium.
Kekaisaran Bizantium dapat mengumpulkan lebih dari 10.000 pasukan efektif untuk ekspedisi Kekaisaran Bizantium di selatan Antiokhia.
Secara teori, Duke Antiokhia telah diberi yurisdiksi atas semua tema-tema (distrik) kecil yang dibuat di Kilikia dan Suriah. Sama seperti Duke Mesopotamia yang bertanggung jawab atas tema-tema Armenia.
Dengan tema-tema baru yang lebih kecil ini, mungkin memiliki masing-masing berjumlah 800 orang (semua kavaleri), sementara Tarsus dan Antiokhia bahkan bisa memiliki sebanyak 5.000 orang masing-masing.
Namun yang pasti adalah kenyataan bahwa sebagian besar tentara Bourtzes adalah orang-orang Armenia. Itu karena mereka memainkan peran penting dalam mengisi kembali wilayah Melitene, Tarsus, Adana, dan Antiokhia selama konflik beberapa dekade sebelumnya.
Sementara itu, Tentara Kekhalifahan Fatimiyah tampaknya juga cukup banyak, bahkan mungkin berjumlah 30.000 orang. Meskipun tentu saja tidak hanya terdiri dari kavaleri.
Menurut penulis sejarah ini, besarnya pasukan Fatimiyah nantinya menyebabkan Bourtzes enggan menyerang mereka. Meskipun sumber-sumber tersebut tidak mengidentifikasi secara pasti komposisi pasukan Manjutakin.
Kemungkinan besar pasukannya adalah tentara multi-ras Turki, infanteri elit Daylami Iran, mantan pasukan Ikhshidite dan Kafurid, serta suku Badui dari Afrika Utara dan Suriah.
Sejarawan Mesir abad ke-14, al-Maqrizi, melaporkan bahwa Manjutakin berangkat dari Damaskus pada bulan Rabi’ul Awal 394 (15 April-14 Mei 994) menuju Antiokhia di mana pasukan Bizantium sedang berkumpul.
Dia mencoba unjuk kekuatan dengan menghancurkan lingkungan kota sebelum bergerak ke timur menuju Aleppo di mana dia tiba pada Jumadil Awal 384 (13 Juli-10 Agustus 994).
Berangkat dari Antiokhia, para komandan Kekaisaran Bizantium bertemu dengan pasukan Hamdanid yang dikirim oleh Lu’lu al-Kabir, wali Emir Hamdanid Sa’id al-Dawla dan penguasa Aleppo sejak tahun 991.
Alasan mengapa Bourtzes memilih untuk bergerak ke selatan menuju Antartus, mungkin karena dia ingin menjauhkan Manjutakin dari markasnya di Damaskus.
Mungkin dia juga ingin mendapatkan bala bantuan untuk pasukannya dari tema kecil Antartus. Kota ini didirikan oleh Tzimiskes pada tahun 971 dan seharusnya memiliki kekuatan 4.000 kavaleri.
Meskipun laporan Yahya tentang Basil II yang harus menjaga kota tersebut dengan 4.000 orang Armenia pada tahun 995 menunjukkan, bahwa kota pesisir yang strategis ini mungkin telah ditinggalkan.
Kota itu telah ditinggalkan selama tahun-tahun sebelumnya karena konflik Bizantium-Fatimiyah di wilayah tersebut.
Manjutakin, yang sedang mengepung Aleppo sebelum mengetahui pergerakan Kekaisaran Bizantium-Hamdanid ke selatan, berbelok ke barat untuk menghadapi lawan-lawannya.
Kedua pasukan berkemah di Sungai Orontes, mungkin di lembah Ruj di utara Apamea yang telah direbut oleh Turki pada bulan September 993 M.
Tentara Kekaisaran Bizantium-Hamdanid menduduki bagian barat sungai Orontes, dan Yahya menganggap Bourtzes enggan menyeberanginya dan melawan Kekhalifahan Fatimiyah secara langsung.
Mungkin jumlah pasukan Kekaisaran Fatimiyahlah yang menghalangi Bourtzes, dan/atau mungkin operasi itu sendiri untuk menyeberangi Orontes. Sementara musuh bertahan di seberang sungai.
Namun Manjutakin adalah orang yang mempertahankan inisiatif strategis tersebut dengan mengirimkan sebagian pasukannya. Beberapa sumber melaporkan bahwa kaum Hamdanid panik dan melarikan diri, sehingga memungkinkan kelompok penyerang Badui untuk menjarah kamp mereka.
Menyadari situasi yang menyedihkan ini, pasukan Bizantium bubar, meninggalkan komandan mereka di lapangan bersama dengan kereta bagasi mereka dan 5.000 orang tewas.
Source | : | Medievalist |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR