Dalai Lama kelima tidak hidup cukup lama untuk melihat istana ini selesai dibangun, karena ia meninggal pada tahun 1682.
Para biksu lain khawatir kematian Dalai Lama akan menyebabkan proyek tersebut ditinggalkan.
Mereka memutuskan untuk merahasiakan kematian Dalai Lama selama sepuluh tahun, sampai Istana Merah selesai dibangun. Sementara itu, seorang biksu yang mirip dengannya digunakan untuk menyamar sebagai mendiang Dalai Lama.
Dilansir dari Ancient Origins, pada tahun 1959 terjadi pemberontakan Tibet melawan pemerintah Tiongkok. Pemberontakan mengalami kegagalan sehingga Dalai Lama keempat belas, Tenzin Gyatso, melarikan diri ke India.
Dengan demikian, Istana Potala bukan lagi tempat tinggal Dalai Lama. Selama tahun 1960 hingga sekitar tahun 1970, banyak bangunan keagamaan Tibet menjadi korban Pengawal Merah yang fanatik selama Revolusi Kebudayaan.
Namun demikian, Istana Potala selamat dari ikonoklasme ini, karena dilindungi oleh pasukan Perdana Menteri Zhou Enlai sendiri.
Istana Potala diubah oleh pemerintah Tiongkok menjadi museum negara, dan saat ini tetap menjadi situs ziarah penting, serta situs warisan sejarah dunia UNESCO.
Dilansir dari laman UNESCO, bangunan istana Potala terbuat dari kayu dan batu. Arsitekturya yang luar biasa dipengaruhi dari gaya Buddha Tibet, serta pengaruh dari Tiongkok, India, dan Nepal.
Di dalamnya terdapat lebih dari tiga ribu gambar Buddha serta tokoh sejarah lainnya serta banyak harta karun. Lukisan mural menutupi dinding yang menggambarkan pemandangan keagamaan dan kisah sejarah.
Baru-baru ini diumumkan bahwa Tiongkok berencana menghabiskan 300 juta yuan untuk melestarikan dokumen dan teks kuno yang disimpan di situs ikonik ini.
Proyek berdurasi sepuluh tahun ini akan mencakup pelestarian digital serta registrasi lebih dari 2800 volume teks.
China Daily melaporkan bahwa dokumen Han, Tibet, Man, Mongolia, dan Sansekerta yang mencakup 20 bidang studi disimpan lebih dari empat puluh ribu buku di kapel stupa makam dan patung Buddha, aula pertemuan dan beberapa perpustakaan lainnya.
Source | : | UNESCO,Ancient Origins |
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR