Marimbo dan Maharimbo, anak laki-laki dan perempuan dari dua suku berbeda itu tidak sengaja bertemu di hutan dan jatuh cinta.
“Mereka kawin lari, kemudian meledaklah gunung itu dan menjadi Danau Tondano,” kisahnya.
Lewat kisah itu, para tetua mengingatkan agar para generasi muda selalu menjaga dan mematuhi peraturan adat.
Selain itu, budaya ini juga dilakukan guna menjaga komitmen masyarakat untuk selalu restu dari orangtua dan leluhur untuk keputusan apa pun.
“Kemudian ada cerita Limbad dan temannya yang bekerja berburu. Cerita itu menceritakan soal kejujuran terhadap saudara dan teman,” ungkap Meidy.
Perairan sebagai jembatan budaya luar
Perairan kemudian juga memperkenalkan masyarakat Minahasa dengan budaya dari luar melalui jalur perdagangan. Salah satunya, memperkenalkan agama.
“Agama ini disebarkan oleh para orang kolonial. Beberapa juga ada yang dibawa oleh para korban pengasingan Belanda,” ungkap Rikson.
Meski berbagai kepercayaan telah diterima dan diadopsi masyarakat, Rikson menyebut, para penduduk tetap mempertahankan berbagai kebudayaan lawas, seperti mengunjungi danau ketika menghadapi masalah.
Selain itu, mereka juga masih mempertahankan banyak kebiasaan. Salah satunya, ketika ada medoleo (angin puting beliung).
“Kalau ini turun, masyarakat akan mengangkat sapu lidi dan mengucapkan syair-syair. Nantinya, angin ini akan pergi keluar kampung atau hilang dengan sendirinya,” pungkas Rikson.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |