Bangsa Mongol melihat peluang dari perpecahan itu dan memanfaatkannya. Mereka cukup beruntung bahwa gelombang besar terjadi bersamaan dengan naiknya kekuasaan seorang kepala suku yang kuat. Ia adalah Genghis Khan yang kemudian mempersatukan semua suku-suku nomaden.
“Peralihan dari kekeringan ekstrem ke kelembapan ekstrem menunjukkan bahwa iklim berperan dalam kejadian yang terjadi pada manusia,” kata ilmuwan lingkaran pohon Amy Hessl dari West Virginia University di Morgantown.
Meski bukan faktor utama, tapi hal ini pasti menciptakan kondisi ideal bagi pemimpin karismatik untuk keluar dari kekacauan. Pemimpin itu mampu mengembangkan pasukan, dan memusatkan kekuatan.
Di tempat yang gersang, kelembapan yang tidak biasa menciptakan produktivitas tanaman yang tidak biasa. Pada akhirnya, tanaman itu menjadi sumber tenaga bagi kuda. Genghis mampu ‘menunggangi’ gelombang itu.
Dan Genghis membawa Kekaisaran Mongol menjadi salah satu kekaisaran terhebat dalam sejarah dunia. Pada saat meninggal pada tahun 1227, Genghis dan para pengikutnya telah mendirikan sebuah kekaisaran besar. Saat itu, wilayahnya meliputi Korea, Tiongkok, Rusia, Timur Tengah, Eropa Timur, Persia, India, dan Asia Tenggara.
Meskipun kekaisaran Mongol kemudian pecah selama berabad-abad kemudian, beberapa keturunan langsung Genghis Khan masih menguasai wilayah Asia Tengah hingga tahun 1920-an.
Perubahan kondisi iklim yang terjadi pada waktu yang tepat membantu berdirinya Kekaisaran Mongol. Selanjutnya peneliti akan menentukan apakah pengaruh cuaca seperti El Nino dan Osilasi Atlantik Utara menyebabkan hujan di Asia Tengah.
Invasi Mongol modern
Tim Lamont-Doherty mengungkapkan bahwa terjadi cuaca terpanas dan kekeringan terparah selama berabad-abad di awal abad ke-21. “Bahkan lebih panas dan kering jika dibandingkan kekeringan parah pada tahun 1180-an dan 1190-an,” tambah Smith.
Hal ini juga menunjukkan bahwa iklim mungkin berperan dalam invasi Mongol modern. Mereka berpindah dari dari padang rumput yang gersang ke kota-kota yang padat penduduk.
Tahun-tahun kekeringan ini merupakan kelanjutan dari serangkaian tahun-tahun basah menjelang akhir abad ke-20. Hal ini merupakan pukulan ganda, kata Pedersen. Curah hujan yang relatif melimpah pada tahun 1990-an membuat penggembala kurang siap menghadapi kondisi kekeringan yang parah.
Tahun-tahun yang sulit dan perubahan besar di tengah masyarakat Mongolia pasca-komunis akhirnya memicu eksodus massal. Eksodus itu terjadi dari daerah stepa ke ibu kota negara, Ulanbator.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR