Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Mongol merupakan salah satu kekaisaran terbesar dan terkuat dalam sejarah dunia. Bangsa Mongol dikenal karena kehebatan militernya. Namun selain kehebatan militer, ada hal lain yang secara tidak langsung berperan dalam perkembangan Kekaisaran Mongol. Hal itu adalah cuaca.
Apa hubungannya antara cuaca dengan penaklukan Kekaisaran Mongol?
Sebuah penelitian dilakukan oleh ilmuwan dari Lamont-Doherty Earth Observatory di Columbia University dan West Virginia University. Mereka mengungkap alasan mengapa sekelompok penunggang kuda nomaden Mongol mampu menyapu sebagian besar Asia dalam beberapa dekade.
Pasukan Mongol menaklukkan segala sesuatu yang menghalangi mereka. Rupanya, para penunggan kuda itu menikmati hujan lebat dan cuaca yang sejuk selama penyerangan. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya di padang rumput yang biasanya dingin dan gersang, tempat mereka tinggal.
Tim mengambil sampel lingkaran pohon di pohon pinus Siberia yang berbonggol dan bengkok di Pegunungan Hangay di Mongolia tengah. Mereka mengumpulkan kronologi yang sangat tepat mengenai kondisi iklim lokal yang membentang dari tahun 900 Masehi hingga tahun 2000-an.
Penelitian memberikan interpretasi baru mengapa bangsa Mongol tiba-tiba melakukan perpindahan.
Pandangan tradisional menyatakan bahwa bangsa Mongol melarikan diri dari kondisi keras di kampung halaman yang terjal dan bergunung-gunung.
Namun, tim Lamont-Doherty menemukan hal yang sebaliknya. Antara tahun 1211 dan 1225, Mongolia tengah memiliki cuaca yang baik. Perubahan cuaca itu tidak pernah terjadi sebelumnya di wilayah tersebut.
“Setidaknya 1.100 tahun terakhir dan mungkin lebih lama lagi,” tulis Roff Smith di laman National Geographic. Periode tersebut bertepatan dengan kebangkitan Genghis Khan dan Kekaisaran Mongol.
“Kami dapat melihat kelembapan di atas rata-rata selama 15 tahun berturut-turut,” kata penulis utama studi tersebut, Neil Pedersen, ilmuwan lingkaran pohon di Lamond-Doherty Earth Observatory. “Hal itu terjadi pada periode penting dalam sejarah Mongol dan merupakan hal yang luar biasa dalam hal kondisi basah yang terus-menerus.”
Kondisi yang luar biasa baik dalam jangka panjang berarti rumput yang berlimpah. Pada akhirnya, terdapat peningkatan besar dalam jumlah ternak dan kuda perang yang menjadi basis kekuatan Kekaisaran Mongol.
Semua itu sangat kontras dengan kekeringan panjang dan sangat parah yang melanda wilayah tersebut pada tahun 1180-an dan 1190-an. Kekeringan tersebut akhirnya menyebabkan kerusuhan dan perpecahan.
Bangsa Mongol melihat peluang dari perpecahan itu dan memanfaatkannya. Mereka cukup beruntung bahwa gelombang besar terjadi bersamaan dengan naiknya kekuasaan seorang kepala suku yang kuat. Ia adalah Genghis Khan yang kemudian mempersatukan semua suku-suku nomaden.
“Peralihan dari kekeringan ekstrem ke kelembapan ekstrem menunjukkan bahwa iklim berperan dalam kejadian yang terjadi pada manusia,” kata ilmuwan lingkaran pohon Amy Hessl dari West Virginia University di Morgantown.
Meski bukan faktor utama, tapi hal ini pasti menciptakan kondisi ideal bagi pemimpin karismatik untuk keluar dari kekacauan. Pemimpin itu mampu mengembangkan pasukan, dan memusatkan kekuatan.
Di tempat yang gersang, kelembapan yang tidak biasa menciptakan produktivitas tanaman yang tidak biasa. Pada akhirnya, tanaman itu menjadi sumber tenaga bagi kuda. Genghis mampu ‘menunggangi’ gelombang itu.
Dan Genghis membawa Kekaisaran Mongol menjadi salah satu kekaisaran terhebat dalam sejarah dunia. Pada saat meninggal pada tahun 1227, Genghis dan para pengikutnya telah mendirikan sebuah kekaisaran besar. Saat itu, wilayahnya meliputi Korea, Tiongkok, Rusia, Timur Tengah, Eropa Timur, Persia, India, dan Asia Tenggara.
Meskipun kekaisaran Mongol kemudian pecah selama berabad-abad kemudian, beberapa keturunan langsung Genghis Khan masih menguasai wilayah Asia Tengah hingga tahun 1920-an.
Perubahan kondisi iklim yang terjadi pada waktu yang tepat membantu berdirinya Kekaisaran Mongol. Selanjutnya peneliti akan menentukan apakah pengaruh cuaca seperti El Nino dan Osilasi Atlantik Utara menyebabkan hujan di Asia Tengah.
Invasi Mongol modern
Tim Lamont-Doherty mengungkapkan bahwa terjadi cuaca terpanas dan kekeringan terparah selama berabad-abad di awal abad ke-21. “Bahkan lebih panas dan kering jika dibandingkan kekeringan parah pada tahun 1180-an dan 1190-an,” tambah Smith.
Hal ini juga menunjukkan bahwa iklim mungkin berperan dalam invasi Mongol modern. Mereka berpindah dari dari padang rumput yang gersang ke kota-kota yang padat penduduk.
Tahun-tahun kekeringan ini merupakan kelanjutan dari serangkaian tahun-tahun basah menjelang akhir abad ke-20. Hal ini merupakan pukulan ganda, kata Pedersen. Curah hujan yang relatif melimpah pada tahun 1990-an membuat penggembala kurang siap menghadapi kondisi kekeringan yang parah.
Tahun-tahun yang sulit dan perubahan besar di tengah masyarakat Mongolia pasca-komunis akhirnya memicu eksodus massal. Eksodus itu terjadi dari daerah stepa ke ibu kota negara, Ulanbator.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR