Atas seruan ini, Pemerintah Indonesia dengan tegas kebudayaan barat. Berbagai rekaman fisik seperti piringan hitam yang memproduksi musik dan film dari Barat dimusnahkan. Berbagai produk musik di Indonesia berjaya, walau instrumennya pun masih dipengaruhi kebudayaan Barat. (Baca: Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?)
Meski demikian, musik dangdut tidak begitu populer. Begitu pula pada masa berikutnya ketika Soeharto berkuasa, membuka pengaruh kebudayaan Barat ke Indonesia pada 1970-an.
Masa ini lebih membuat seniman Indonesia terdorong mengadopsi kebudayaan Barat yang dinilai 'keren'. Pada musik, musisi mengadopsi pula cara bermusik yang sedang populer di Barat seperti musik rok.
Bagi kalangan orkes melayu atau dangdut, pengaruh bollywood dengan irama India, juga diadopsi. Hanya saja, dangdut tidak begitu dilirik karena dipandang sebagai masyarakat pinggiran dan dianggap sebagai musik kaum rendahan.
Namun popularitas dangdut mendapat panggung pada dekade akhir 1970-an, tepanya ketika Rhoma Irama bersama kelompok Soneta ramai di media. Mereka berhasil tayang di TVRI yang merupakan satu-satunya kanal televisi di Indonesia saat itu.
Pada awalnya, dangdut dianggap musik rendahan yang identik dengan masyarakat yang urakan. Rhoma Irama hadir membawakan dangdut yang cenderung bermoralitas dan dekat dengan agama. Rhoma mengeklaim bahwa dirinya mengangkat dangdut menjadi kesenian yang lebih bermoral.
'Dangdut invasion'
Dampak dari Rhoma dan grup Soneta ini memengaruhi cara bermusik pada masanya. Irfan, dalam bukunya, mengungkapkan bahwa beberapa band dan musisi yang awalnya memandang sebelah mata dan mencibir dangdut, kemudian terbawa untuk membawa irama dangdut.
Dangdut semakin populer pada 1980-an, terutama ketika musisinya pun terlibat dalam produksi film. Misalnya, Elvy Sukaesih yang membawakan lagu dangdut dan hadir sebagai pemeran di film Warkop DKI Mana Tahan (1979), atau Rhoma Irama yang menjadi bintang utama film Satria Bergitar (1984).
Era 1980-an membuat dangdut menjadi lebih luas kepada masyarakat, terlepas dari kelas sosial-ekonominya. Musik dangdut populer pun diputar dalam stasiun radio biasanya dikenal bergengsi seperti Prambors. Prambors bahkan menghadirkan kelompok bernuansa dangdut ala Betawi seperti OM PMR.
Musik dangdut menarik perhatian negara karena memberikan sumbangan ekonomi. Derta dalam Dangdut dan Rezim Orde Baru: Wacana Nasionalisasi Musik Dangdut tahun 1990-an mengungkapkan, penjualan musik dangdut sangat meningkat pada 1980-1990-an awal.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR