Nationalgeographic.co.id—Indonesia disebut-sebut sebagai negara sumber utama sampah plastik berbasis darat yang ditemukan di pantai-pantai Seychelles, sebuah negara kepulauan di Afrika. Hal itu dikatakan dalam makalah studi yang terbit di jurnal internasional Marine Debris Pollution pada tahun 2023.
Sampah plastik berbasis darat adalah “plastik yang masuk ke laut dari sungai atau langsung dari pantai,” jelas Noam Vogt-Vincent, penulis utama studi tersebut, yang sewaktu penelitian sedang menempuh studi doktoral bidang oseanografi fisik di University of Oxford dan kini peneliti pascadoktoral di Hawai’i Institute of Marine Biology.
Studi bertajuk “Sources of marine debris for Seychelles and other remote islands in the western Indian Ocean” itu menyimulasikan pergerakan sampah plastik di lautan dunia. Studi ini memakai data arus laut, ombak, dan angin, serta sampah plastik dari pesisir, sungai, dan perikanan, guna memprediksi akumulasi sampah plastik di 27 lokasi di Seychelles dan Samudra Hindia barat. Hasilnya Indonesia tercatat sebagai penyumbang terbesar sampah plastik berbasis darat di pantai Seychelles
Saya berkesempatan mewawancarai Vogt-Vincent melalui surat elektronik mengenai studinya tersebut. Berikut ini adalah petikan hasil wawancara saya dengannya.
Studi Anda menyatakan bahwa Indonesia adalah sumber utama sampah plastik berbasis darat yang ditemukan di pantai-pantai di Seychelles. Hal ini terutama terjadi pada sampah berukuran sedang-besar yang memiliki daya apung tinggi (seperti tutup botol, sandal, botol, dan barang-barang domestik kecil). Bagaimana Anda menjelaskannya?
Pertama, saya ingin menekankan bahwa pernyataan ini hanya berlaku untuk sampah plastik berbasis daratan (yaitu plastik yang masuk ke laut dari sungai atau langsung dari pantai), bukan sampah plastik secara keseluruhan. Banyak polusi plastik yang masuk ke laut dari kapal sehingga, di beberapa pulau di bagian barat Samudra Hindia, hanya sebagian kecil sampah yang berasal dari Indonesia (kemungkinan besar berasal dari perikanan lokal dan/atau sampah yang dibuang dari kapal, sering kali berasal dari Tiongkok). Hal ini penting, karena walaupun sebagian besar sampah yang berasal dari darat (yang lebih mudah dilacak) berasal dari Indonesia, banyak juga pencemaran yang dihasilkan dari laut, dan sumber pencemaran ini masih kurang dipahami. Jadi ini bukan masalah khas Indonesia saja.
Meskipun demikian, secara umum Indonesia masih menjadi sumber pencemaran laut yang signifikan di Samudra Hindia bagian barat. Misalnya, saat pembersihan pantai di Aldabra Atoll, Seychelles, ditemukan berton-ton sandal jepit dan kemasan plastik, dan kami menduga sebagian besar dari barang-barang tersebut mungkin berasal dari Indonesia. Saya rasa hasil ini tidak terlalu mengejutkan - Indonesia telah diidentifikasi sebagai sumber utama polusi di Seychelles selama lebih dari satu dekade.
Mengapa sampah dari daratan Indonesia bisa mencemari Afrika?
Ada beberapa alasan mengapa polusi dari Indonesia menjadi perhatian khusus di Samudra Hindia bagian barat:
Indonesia merupakan salah satu sumber polusi plastik laut terbesar di dunia karena kombinasi dari (1) populasi pesisir yang sangat tinggi, (2) tingginya proporsi sampah yang tidak dikelola dengan baik, dan (3) curah hujan yang tinggi, yang meningkatkan kemungkinan plastik terbawa ke laut (misalnya lihat Jambeck dkk. 2015).
Terdapat arus laut ke arah barat di Samudra Hindia tropis bagian selatan, mengalir melewati Pulau Jawa dan kemudian menuju ke arah barat Samudra Hindia. Akibatnya, plastik yang masuk ke laut dari Indonesia mempunyai kemungkinan yang relatif tinggi untuk terangkut ke arah barat daya Samudra Hindia.
Angin permukaan di selatan Samudra Hindia juga umumnya mengarah ke barat, sehingga plastik yang mengapung di permukaan mengalami 'dorongan' yang lebih kuat ke arah barat Samudra Hindia.
Menurut Anda bagaimana cara untuk mengatasi permasalahan sampah laut dari Indonesia ini?
Satu-satunya solusi berkelanjutan terhadap masalah ini adalah (1) mengurangi produksi plastik sekali pakai, dan (2) menghentikan sampah memasuki sungai dan laut. Misalnya, sebuah penelitian baru-baru ini menggunakan satelit untuk mengidentifikasi lebih dari 300 kumpulan sampah di Indonesia, yang banyak di antaranya meluap ke saluran air terdekat. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan jumlah yang dilaporkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan OpenStreetMap, yang menunjukkan bahwa terdapat banyak “tempat pembuangan sampah informal berskala kecil” yang tidak diatur.
Tempat pembuangan limbah idealnya ditempatkan jauh dari saluran air, tetapi jika hal ini tidak memungkinkan, penting agar saluran tersebut tidak meluap, dan harus memiliki penutup yang memadai serta didukung secara struktural untuk mencegah kebocoran limbah. Beberapa perusahaan (misalnya The Ocean Cleanup) sedang mengembangkan teknologi untuk mencegah sampah plastik di sungai. Mungkin ini adalah bagian dari solusi, tetapi kekhawatiran saya adalah bahwa investasi pada 'solusi' teknologi ini akan mengalihkan dana dari penyelesaian akar permasalahan (produksi plastik sekali pakai yang tidak berkelanjutan, dan pengelolaan limbah yang tidak memadai).
Apakah ada pesan khusus dari Anda untuk pemerintah Indonesia menyoal permasalahan sampah plastik laut ini?
Penting juga bahwa pendekatan kita dalam mengatasi polusi plastik laut bersifat internasional dan adil. Saat ini negosiasi mengenai Perjanjian Plastik Global sedang berlangsung, dan penting untuk menyediakan dana untuk membantu negara-negara seperti Indonesia dalam meningkatkan infrastruktur pengelolaan sampah. Penting agar hal ini tidak berubah menjadi 'permainan saling menyalahkan', karena banyak negara yang merupakan sumber utama pencemaran laut berada dalam situasi ini karena (1) kurangnya dana untuk pengelolaan limbah, dan (2) kondisi geografi negara mereka.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR