Nationalgeographic.co.id—Kota Sparta dalam sejarah Yunani kuno terkenal dengan pasukan militer terbaiknya. Nyatanya kota tersebut memberlakukan praktik gelap yang menentang moral modern, yaitu adanya pembunuhan selektif terhadap bayi baru lahir yang dianggap tidak layak untuk kehidupan Spartan.
Namun bagaimana orang tua bisa menyerahkan anaknya pada keputusan dingin pemerintah kota Sparta Yunani kuno? Mengapa sebuah peradaban, yang terkenal karena keberanian militernya, membiarkan praktik semacam itu?
Kebangkitan Sparta
Kota Sparta Yunani kuno didirikan sekitar abad ke-10 SM. Terletak di wilayah Laconia, kebangkitannya sangat berbeda dengan kebangkitan pemerintahan Yunani lainnya.
Pada abad ke-6 SM, di bawah reformasi Lycurgus, Sparta mulai menerapkan cara hidup yang sangat ketat dan termiliterisasi.
Perang Peloponnesia (431-404 SM) menjadi saksi Sparta menghadapi kekuatan Athena, semakin menyoroti perlunya kekuatan militer yang kuat dan efektif.
Dengan latar belakang inilah praktik pembunuhan bayi selektif dilakukan. Inti dari struktur masyarakat Sparta dalam sejarah Yunani kuno memberikan penekanan besar pada kekuatan kolektif, persatuan, dan kecakapan fisik.
Nilai-nilai itu lah yang penting bagi kelangsungan hidup dan dominasi negara kota, terlihat jelas dalam praktik pembunuhan bayi selektif.
Bentang alam Sparta ditandai dengan medan yang terjal dan lahan subur yang terbatas. Hal ini mengharuskan masyarakat yang mengutamakan efisiensi dan optimalisasi, baik dari segi sumber daya maupun populasi.
Kontribusi setiap warga negara sangatlah penting. Oleh karena itu, masyarakat yang kuat dan sehat menjadi perhatian utama.
Struktur kehidupan Spartan terjalin dengan cita-cita militerisme. Sejak usia tujuh tahun, anak laki-laki Spartan terdaftar di 'agoge', sebuah program pendidikan dan pelatihan ketat yang membentuk mereka menjadi pejuang elit.
Mengingat keterlibatan awal dan intens dalam kehidupan militer, kebugaran fisik setiap individu menjadi kepentingan negara.
Source | : | History,Science |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR