Melalui kacamata etos ini, tindakan melepaskan bayi yang dianggap tidak layak bukanlah sebuah tragedi pribadi namun sebuah pengorbanan demi kebaikan yang lebih besar.
Bagi keluarga Spartan, terutama para ibu, dampak emosional dari praktik ini tidak bisa dianggap remeh. Meskipun perempuan Spartan dikenal karena ketangguhan mereka, tindakan berpisah dengan seorang anak tidak diragukan lagi merupakan pengalaman yang sangat traumatis.
Namun, dalam masyarakat ini, penekanan pada tugas sering kali mengalahkan sentimen pribadi. Ibu-ibu Spartan terkenal mengirim putra-putra mereka berperang dengan desakan untuk kembali "dengan atau di atas perisaimu".
Sentimen ini menunjukkan banyak tekanan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan untuk memprioritaskan kesejahteraan Sparta di atas segalanya.
Praktik Gelap Pembunuhan Bayi Disabilitas Hanya Mitos?
Praktik ini juga berdampak pada tatanan sosial yang lebih luas. Pertama, hal ini menggarisbawahi perbedaan antara warga Sparta dan warga lainnya, seperti helot atau perioikoi (penduduk Sparta yang bukan warga negara).
Dalam masyarakat di mana hak kesulungan dan kecakapan fisik menentukan status dan peran seseorang, mereka yang selamat dari ujian awal pembunuhan bayi selektif ditanamkan rasa bangga dan memiliki tujuan sejak usia sangat muda.
Dikutip Science, bukti arkeologis dan pengamatan lebih dekat terhadap sumber-sumber sastra terbaru menunjukkan bahwa praktik gelap tersebut hanya mitos belaka. Hal ini terbukti melalui sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Hesperia.
Ahli klasik di California State University, Long Beach berpendapat bahwa menelantarkan bayi disabilitas bukanlah bagian dari budaya Yunani kuno , meskipun hal itu terjadi sesekali.
Pembunuhan bayi terkadang terjadi di sebagian besar masyarakat, termasuk di zaman modern. Sneed mengatakan tidak banyak yang menunjukkan bahwa orang-orang Yunani berbeda.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | History,Science |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR