Nationalgeographic.co.id—Perayaan Tahun Baru di zaman modern sekarang identik dengan tanggal 1 Januari dan kembang api. Namun, bagaimana dengan perayaan Tahun Baru di zaman kuno?
Sejarah dunia kuno mencatat ada berbagai macam perayaan Tahun Baru dalam beragam peradaban kuno. Berikut ini adalah lima ragam di antaranya.
1. Akitu Babilonia
Setelah bulan baru pertama setelah titik balik musim semi pada akhir Maret, orang-orang Babilonia di Mesopotamia kuno menghormati kelahiran kembali alam dengan festival multihari yang disebut Akitu. Perayaan awal Tahun Baru ini dimulai sekitar tahun 2000 SM, dan diyakini sangat terkait dengan agama dan mitologi.
Selama perayaan Akitu, patung para dewa diarak di jalan-jalan kota, dan upacara dilaksanakan untuk melambangkan kemenangan mereka atas kekuatan kekacauan. Melalui ritual ini, orang-orang Babilonia percaya bahwa dunia secara simbolis dibersihkan dan diciptakan kembali oleh para dewa sebagai persiapan menyambut tahun baru dan kembalinya musim semi.
Salah satu aspek menarik dari Akitu melibatkan semacam ritual penghinaan yang dialami oleh raja Babilonia. Tradisi aneh ini membuat raja dibawa ke hadapan patung dewa Marduk, dilucuti dari regalia kerajaannya, dan dipaksa bersumpah bahwa dia telah memimpin kota dengan hormat.
Seorang pendeta tinggi kemudian akan menampar raja dan menarik telinganya dengan harapan membuatnya menangis. Jika air mata raja tumpah, itu dianggap sebagai tanda bahwa Marduk puas dan secara simbolis telah memperpanjang kekuasaan raja.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa unsur-unsur politik ini menunjukkan bahwa Akitu digunakan oleh monarki sebagai alat untuk menegaskan kembali kekuasaan ilahi raja atas rakyatnya.
2. Janus Romawi Kuno
Tahun Baru Romawi awalnya juga bertepatan dengan ekuinoks musim semi. Namun tahun-tahun yang diubah dengan kalender matahari akhirnya membuat hari libur tersebut ditetapkan pada tanggal yang lebih dikenal, yaitu 1 Januari.
Bagi orang-orang Romawi kuno, bulan Januari memiliki arti khusus. Namanya diambil dari dewa bermuka dua Janus, dewa perubahan dan permulaan.
Janus dipandang secara simbolis melihat kembali masa lalu dan masa depan menuju masa baru. Gagasan ini menjadi terikat dengan konsep transisi dari satu tahun ke tahun berikutnya.
Masyarakat Romawi kuno merayakan tanggal 1 Januari dengan memberikan persembahan kepada Janus dengan harapan mendapat rezeki di tahun baru. Hari ini dipandang sebagai hari yang menentukan untuk dua belas bulan ke depan, dan merupakan hal biasa bagi teman dan tetangga untuk mengawali tahun dengan positif dengan saling bertukar ucapan selamat dan hadiah berupa buah ara dan madu.
Menurut penyair Ovid, sebagian besar orang Romawi juga memilih bekerja setidaknya pada sebagian Hari Tahun Baru. Sebab, bermalas-malasan dipandang sebagai pertanda buruk sepanjang sisa tahun tersebut.
3. Wepet Renpet Mesir Kuno
Kebudayaan Mesir kuno terkait erat dengan Sungai Nil, dan tampaknya Tahun Baru mereka bertepatan dengan banjir tahunannya. Menurut penulis Romawi Censorinus, Tahun Baru Mesir diprediksi ketika Sirius—bintang paling terang di langit malam—pertama kali terlihat setelah absen selama 70 hari.
Lebih dikenal dengan sebutan heliacal rise, fenomena ini biasanya terjadi pada pertengahan Juli tepat sebelum munculnya genangan tahunan Sungai Nil, yang membantu memastikan bahwa lahan pertanian tetap subur di tahun mendatang.
Masyarakat Mesir merayakan permulaan baru ini dengan sebuah festival yang dikenal sebagai Wepet Renpet, yang berarti “pembukaan tahun”. Tahun Baru dipandang sebagai waktu kelahiran kembali dan peremajaan, dan dihormati dengan pesta dan upacara keagamaan khusus.
Berbeda dengan kebanyakan orang saat ini, orang-orang Mesir mungkin juga menggunakan hal ini sebagai alasan untuk sedikit mabuk. Penemuan terbaru di Kuil Mut menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Hatshepsut, bulan pertama tahun ini menjadi tuan rumah bagi “Festival Mabuk”.
Pesta besar-besaran ini terkait dengan mitos Sekhmet, dewi perang yang berencana membunuh seluruh umat manusia. Namun dewa matahari Ra kemudian menipu Sekhmet untuk minum-minum hingga pingsan.
Untuk menghormati keselamatan umat manusia, orang-orang Mesir kuno merayakannya dengan musik, seks, pesta pora, dan—mungkin yang paling penting—bir dalam jumlah banyak.
4. Tahun Baru Imlek Tiongkok Kuno
Salah satu tradisi tertua yang masih dirayakan hingga saat ini adalah Tahun Baru Imlek, yang diyakini berasal lebih dari 3.000 tahun yang lalu pada masa Dinasti Shang. Liburan ini dimulai sebagai cara untuk merayakan awal baru musim tanam di musim semi, tetapi kemudian menjadi terjerat dengan mitos dan legenda.
Menurut salah satu cerita populer, pernah ada makhluk haus darah bernama Nian—yang sekarang merupakan kata dalam bahasa Cina untuk “tahun”—yang memangsa desa-desa setiap Tahun Baru. Untuk menakut-nakuti binatang yang kelaparan itu, penduduk desa mendekorasi rumah mereka dengan hiasan berwarna merah, membakar bambu, dan membuat suara keras.
Tipuan itu berhasil. Warna-warna cerah serta lampu yang diasosiasikan dengan menakut-nakuti Nian akhirnya menyatu dalam perayaan tersebut.
Perayaan Imlek biasanya berlangsung selama 15 hari dan cenderung berpusat di rumah dan keluarga. Orang-orang membersihkan rumah mereka untuk menghilangkan nasib buruk, dan beberapa orang membayar hutang lama sebagai cara untuk menyelesaikan urusan tahun sebelumnya.
Untuk mendorong awal tahun yang baik, mereka juga menghiasi pintu rumah mereka dengan gulungan kertas dan berkumpul dengan kerabat untuk pesta. Menyusul penemuan bubuk mesiu pada abad ke-10, masyarakat Tiongkok kuno juga merupakan orang pertama yang merayakan Tahun Baru dengan kembang api.
Karena Tahun Baru Imlek masih didasarkan pada kalender lunar yang berasal dari milenium kedua SM, hari libur tersebut biasanya jatuh pada akhir Januari atau awal Februari pada bulan baru kedua setelah titik balik matahari musim dingin.
Setiap tahun dikaitkan dengan salah satu dari 12 hewan zodiak: tikus, lembu, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam jago, anjing, dan babi.
5. Nowruz Persia Kuno
Meskipun masih dirayakan di Iran dan wilayah lain di Timur Tengah dan Asia, akar Nowruz (atau “Hari Baru”) sudah ada sejak zaman kuno. Sering disebut “Tahun Baru Persia”, festival musim semi yang berlangsung selama 13 hari ini jatuh pada atau sekitar ekuinoks musim semi di bulan Maret dan diyakini berasal dari daerah yang kini menjadi wilayah Iran modern sebagai bagian dari agama Zoroastrian.
Catatan resmi Nowruz baru muncul pada abad ke-2. Namun sebagian besar sejarawan meyakini perayaannya sudah ada sejak abad ke-6 SM dan di era kekuasaan Kekaisaran Achaemenid.
Tidak seperti banyak festival Persia kuno lainnya, Nowruz tetap menjadi hari libur penting bahkan setelah penaklukan Iran oleh Alexander Agung pada tahun 333 SM dan kebangkitan pemerintahan Islam pada abad ke-7 M.
Perayaan kuno Nowruz berfokus pada kelahiran kembali yang menyertai kembalinya musim semi. Raja akan menggunakan hari libur tersebut untuk mengadakan jamuan makan mewah, membagikan hadiah, dan mengadakan audiensi dengan rakyatnya.
Tradisi lainnya termasuk pesta, bertukar hadiah dengan anggota keluarga dan tetangga, menyalakan api unggun, mewarnai telur, dan memercikkan air untuk melambangkan penciptaan. Salah satu ritual unik yang muncul sekitar abad ke-10 adalah pemilihan “Penguasa Nowruzian”: seorang rakyat jelata yang akan berpura-pura menjadi raja selama beberapa hari sebelum “dicopot” menjelang akhir festival.
Nowruz telah berkembang pesat dari waktu ke waktu. Namun banyak tradisi kunonya—khususnya penggunaan api unggun dan telur berwarna—masih menjadi bagian dari hari raya modern, yang dirayakan oleh sekitar 300 juta orang setiap tahunnya.
Source | : | History.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR