Nationalgeographic.co.id—Di akhir Kekaisaran Romawi, pakaian merupakan simbol identitas, status, dan afiliasi budaya yang kuat. Ketika Kaisar Honorius naik takhta, dia membuat keputusan yang tampaknya aneh yaitu melarang penggunaan celana dalam sejarah Romawi kuno.
Bagi pengamat modern, keputusan seperti itu mungkin tampak sepele atau bahkan lucu. Saat itu, Kekaisaran Romawi Barat sedang bergulat dengan perselisihan internal dan ancaman eksternal. Di tengah situasi yang penuh gejolak ini, hal tersebut merupakan pernyataan politik dan budaya yang signifikan.
Pakaian dalam Sejarah Romawi Kuno
Jauh sebelum pemerintahan Honorius, pakaian Romawi telah berkembang sebagai cerminan nilai-nilai kekaisaran, struktur sosial, dan pengaruh budaya.
Toga, mungkin merupakan pakaian Romawi yang paling ikonik. Pakaian ini diperuntukkan bagi warga negara Romawi dan sering dipakai sebagai simbol status dan hak istimewa.
Desain penutupnya dan cara pemakaiannya yang spesifik menunjukkan posisi seseorang dalam masyarakat, dengan variasi yang menunjukkan segala hal mulai dari jabatan politik hingga duka.
Sebaliknya, wanita biasanya mengenakan stola, gaun panjang yang dikenakan di atas tunik. Hal ini mempunyai tanda feminitas dan kesopanan.
Ketika Kekaisaran Romawi berkembang, ia bersentuhan dengan berbagai budaya, yang masing-masing memiliki gaya berpakaian khasnya sendiri.
Interaksi ini menyebabkan masuknya unsur-unsur asing secara bertahap ke dalam busana dalam sejarah Romawi kuno.
Misalnya, sintesis gaya Helenistik menghasilkan penerapan chiton, sejenis tunik. Meskipun orang-orang Romawi terbuka untuk mengadopsi pakaian asing tertentu, mereka juga sangat sadar untuk mempertahankan identitas Romawi yang khas.
Keseimbangan antara keterbukaan terhadap pengaruh eksternal dan keinginan untuk melestarikan tradisi memicu kontroversi dan keputusan seputar pakaian pada masa Honorius.
Mengapa Kaisar Honorius Melarang Penggunaan Celana?
Honorius, lahir pada tahun 384 M, naik takhta sebagai Kaisar Romawi Barat pada tahun 395 M, setelah kematian ayahnya, Theodosius I.
Pemerintahannya, yang berlangsung hingga kematiannya pada tahun 423 M, ditandai dengan serangkaian tantangan yang mengancam tatanan Kekaisaran Romawi Barat.
Sejak awal, pemerintahan Honorius dibayangi oleh bimbingan Stilicho, seorang jenderal setengah Vandal yang menjabat sebagai wali dan pelindung kaisar muda.
Di bawah bimbingan Stilicho, kekaisaran melewati serangkaian ancaman eksternal, terutama Perang Gotik yang berpuncak pada penjarahan Roma yang terkenal oleh Visigoth di bawah pimpinan Raja Alaric pada tahun 410 M.
Meskipun kekaisaran menghadapi musuh dari luar, perselisihan internal juga menimbulkan permasalahan yang sama.
Hubungan antara Honorius dan Stilicho menjadi tegang. Hal ini menyebabkan Stilicho dieksekusi pada tahun 408 M atas tuduhan konspirasi dalam sejarah Romawi kuno.
Keputusan ini didorong oleh intrik istana dan meningkatnya paranoia Honorius, melemahkan kepemimpinan militer kekaisaran pada saat yang kritis.
Selain tantangan militer dan politik, pemerintahan Honorius juga ditandai dengan perubahan budaya dan masyarakat yang signifikan.
Wilayah kekaisaran yang luas dan interaksi dengan berbagai suku 'barbar' menyebabkan terjadinya percampuran budaya, yang tercermin dalam segala hal mulai dari seni hingga pakaian.
Celana menjadi titik fokus medan pertempuran simbolis ini. Berasal dari daerah di luar kekaisaran, khususnya di kalangan suku Jerman dan Persia, celana panjang dipandang sebagai pakaian 'orang barbar'.
Desainnya, cocok untuk menunggang kuda dan iklim yang lebih dingin, sangat kontras dengan pakaian tradisional yang dikaitkan dengan mode Romawi.
Ketika kekaisaran memperluas dan berinteraksi dengan budaya 'barbar' ini, penggunaan celana panjang di wilayahnya malah semakin meningkat. Hal ini terutama di kalangan tentara yang ditempatkan di daerah ebih dingin dan mereka yang sering berinteraksi dengan suku yang memakainya.
Seorang tentara Romawi yang ditempatkan di provinsi yang lebih dingin, mengenakan celana panjang. Kepraktisannya tidak dapat disangkal, menawarkan kehangatan dan mobilitas. Namun, seiring dengan meningkatnya popularitas mereka, kontroversi seputar mereka juga meningkat.
Bagi Honorius dan elit Romawi, semakin populernya celana mencerminkan terkikisnya nilai-nilai dan identitas tradisional Romawi.
Celana tersebut dipandang sebagai simbol pengaruh asing, pengingat akan kerentanan kekaisaran dan budaya 'barbar' yang melanggar batas.
Dengan melarang mereka, Honorius bertujuan untuk memperkuat identitas Romawi yang berbeda dan menarik garis yang jelas antara kekaisaran dan musuh-musuh eksternalnya.
Rincian larangannya jelas: celana dilarang di kota Roma dan, lebih jauh lagi, di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi Barat.
Mereka yang ditemukan melanggar akan menghadapi hukuman, mulai dari denda hingga hukuman yang lebih berat.
Keputusan Honorius yang melarang penggunaan celana mendapat reaksi beragam di seluruh Kekaisaran Romawi Barat.
Di jantung kota Roma, di mana nilai-nilai dan penampilan tradisional dijunjung tinggi, banyak faksi elit dan konservatif memuji keputusan tersebut. Mereka memandangnya sebagai langkah penting untuk melestarikan cara hidup Romawi dan mengekang pengaruh budaya asing.
Bagi mereka, larangan tersebut merupakan penegasan kembali superioritas Romawi dan penolakan terhadap adat istiadat 'barbar'.
Namun, di provinsi-provinsi kekaisaran yang jauh dan di kalangan kelas bawah, respons yang diberikan kurang antusias.
Banyak yang menganggap larangan ini tidak praktis, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dingin di mana celana panjang bukan hanya sekedar pilihan fesyen namun juga sebuah kebutuhan.
Para prajurit, yang telah menggunakan celana untuk digunakan di berbagai medan dan iklim, merasa tidak puas. Mereka memandang dekrit tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang mereka hadapi di perbatasan.
Menegakkan larangan tersebut merupakan tantangan lain. Meskipun di Roma dan kota-kota besar, para pejabat dapat memantau dan memberikan sanksi kepada mereka yang mengenakan celana panjang, namun di wilayah kekaisaran yang luas, penegakan hukum yang konsisten hampir mustahil dilakukan.
Pejabat lokal yang memahami ketidakpraktisan dan potensi kerusuhan yang ditimbulkan oleh larangan tersebut, sering kali menutup mata.
Selain itu, luasnya kekaisaran dan keragaman penduduknya membuat pendekatan universal tidak dapat dipertahankan. Seiring berjalannya waktu, meskipun keputusan tersebut tetap berlaku di atas kertas, penegakannya semakin berkurang dalam sejarah Romawi kuno.
Kepraktisan dalam kehidupan sehari-hari, ditambah dengan tantangan-tantangan yang lebih luas yang dihadapi kekaisaran, menjadikan pelarangan penggunaan celana dalam daftar prioritas lebih rendah di sejarah Romawi kuno.
Source | : | History |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR